Memperingati 61 Tahun Berdiri, Meneropong PMII Satu Dekade ke Depan
Antara berkah atau musibah?
Begitulah pilihan kondisi yang akan dihadapi oleh Indonesia dalam beberapa dekade ke depan. Bonus demografi sebagai kondisi dimana komposisi usia produktif suatu negara jauh lebih tinggi dibandingkan usia non-produktifnya, bisa saja menjadi ‘bencana demografi.’
Banyak hal yang harus dipersiapkan untuk menghadapi kondisi tersebut, mulai dari infrastruktur, lapangan kerja, sampai dengan kualitas SDM para pemuda. Setiap elemen masyarakat, terutama organisasi kepemudaan, harus bersama-sama mengambil peran.
Jika diperhatikan lebih jauh, bonus demografi akan menjadi pilar peningkatan produktifitas suatu negara dan menjadi sumber pertumbuhan ekonomi melalui pemanfaatan SDM yang produktif. Dalam arti ini, penduduk usia produktif tersebut benar-benar mampu menghasilkan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi mereka dan memiliki tabungan yang dapat dimobilisasi menjadi investasi.
Namun, bila yang terjadi adalah sebaliknya, dimana penduduk usia produktif yang jumlah besar tidak terserap oleh lapangan pekerjaan yang tersedia dalam sebuah perekonomian, maka akan menjadi beban ekonomi. Karena penduduk usia produktif yang tidak memiliki pendapatan akan tetap menjadi beban bagi penduduk yang bekerja dan akan memicu terjadinya angka pengangguran yang tinggi.
Lalu untuk selanjutnya, bagaimanakah PMII, sebagai organisasi kaderisasi kepemudaan yang pada 17 April 2021 ini tepat berusia 61 tahun, dalam menghadapi kondisi bonus demografi?
Tentunya, dalam upaya meneropong PMII kedepan, tidak terlepas dari wacana dan strategi menatap the window of opportunity yang harus dipersiapkan dari sekarang. Satu dekade kedepan, PMII harus berada dalam pusaran pembangunan. Artinya PMII pada wilayah praktek kaderisasi dan pengembangan kapasitas kadernya harus mulai berbenah, sebagai organisasi yang besar, PMII dengan kuantitas yang banyak sudah sepatutnya menyiapkan instrumen kaderisasi yang dapat menunjang kemampuan operasional setiap kader. Bukan hanya di masa kini tetapi juga di masa yang mendatang.
Mau tidak mau, PMII harus berpikir secara futuristic melalui analisis serangkaian kemungkinan-kemungkinan atas situasi yang akan di hadapi oleh setiap kader di masa yang akan datang. Kelambanan dalam melangkah sebisa mungkin untuk diminimalisir. Cara yang efektif ialah memperbaiki kinerja kaderisasi untuk menjawab tantangan bagaimana output dari kapasitas kader yang dihasilkan dapat bertahan, compatible atau bahkan menciptakan arus perubahan.
Perlunya Restorasi PMII
Pernyataan mengenai output kapasitas kader sebenarnya merupakan wacana usang yang selalu didiskusikan hampir oleh setiap kader PMII serta wacana yang nyaris utopis. Bagaimana tidak? Proses kaderisasi kita belum sepenuhnya dikontrol dengan baik, berjenjang, dan terukur.
Jika ada pernyataan bahwa PMII telah banyak berkontribusi untuk negeri, pertanyaan selanjutnya, tentu bagaimana pernyataan tersebut bisa muncul jika secara kualitas kita masih kalah dengan jumlah kuantitas yang kita miliki, bahkan 50%+1 saja tidak?
Minimya kualitas kader PMII ini salah satunya dapat diukur melalui proses jejang kaderisasi kita. kaderisasi politik yang terprediksi serta menjadi agenda tahunan ditubuh PMII pun kita luput mempersiapkannya. –minim sekali kita mencentak pemimpin yang berkapasitas. romantisme masa lalu dan kedok idealisme selalu jadi pembeneran ketidak mampuan kita.
Jika melihat kondisi tersebut, kita pun akan gagal mempersiapkan kader-kader yang akan mengisi di dunia politik pada skala pemerintahan. Selain karena minimya kapasitas, kita pun akan dihadapkan oleh the ruling ellite baru. Anies Baswedan dalam essaynya mendefinisakan bahwa ruling elite adalan sekelompok elite di antara kaum elite-elite lain yang berkuasa, yang menentukan arah kehidupan bangsa dan negara.
Anies menjabarkan tren ruling elite bangsa ini dari masa ke masa. Dimana anak-anak muda yang pada masa mudanya terlibat dalam tren utama yang mewarnai bangsa ini kelak akan menjadi aktor-aktor di dalam ruling elite. menjabarkan 3 dekade kelompok ruling elite.
Pertama adalah Elite Intelektual yang mendominasi lingkaran kekuasan dari 1945-1960. Mereka adalah anak-anak muda yang masuk ke dunia pendidikan di periode 1900-1940an dan menjadi bagian dari gerakan melawan kolonialisme. Ketika Indonesia meraih kemerdekaan, kaum intelektual ini menjadi ruling elite pertama di Negeri ini.
Kedua adalah Elite Militer, mereka adalah anak-anak muda yang di era tahun 1940an terlihat dalam dunia militer. Dalam perjalanannya, anak- anak muda ini kemudian menjadi aktor-aktor penting di tubuh Angkatan Darat. ketika konflik politik di tahun 1960-an berakhir dengan kemunculan TNI AD di arena kekuasaan, muncul pula ruling elite baru Indonesia. Mereka jadi ruling elite Indonesia hingga akhir 1990-an.
Ketiga adalah Elite Akivis, para anak muda yang aktif dalam dunia organisasi internal maupun eksternal kampus di dekade 1960-an. Organisasi mahasiswa menjadi wahana perekrutan pemimpin muda. Kemudian menjamur pula organisasi kepemudaan menjadi saluran mantan aktivis mahasiswa untuk meneruskan aktivismenya. Para mantan aktivis ini kemudian aktif melalui partai politik, dunia akademis, LSM, Ornop, Pers, Ormas keagamaan dan segelitir lainnya masuk ke dunia bisnis.
Benar saja, sesudah tumbangnya Presiden Soeharto, para aktivis itu menjadi motor partai-partai politik dan aktor-aktor politik dominan di Indonesia. Pada era 1990 sampai 2010an, para mantan aktivislah yang mendominasi kursi-kursi lembaga perwakilan dan lembaga eksekutif dari tingkat nasional sampai dengan tingkat kabupaten. Kalangan aktivis dan organisatoris ini menjadi ruling elite baru menggantikan kalangan militer.
Setelah dekade para aktivis ini yang akan menggantikan posisi tersebut adalah para pengusaha, terbukti, para pengusaha mulai muncul mewarnai dunia perpolitikan di negeri ini. mereka memiliki kapital besar, yang tidak punya basis keterkaitan secara ideologi, dan tidak pernah mengenyam pendidikan sebagai aktivis. Sebaliknya, Berbeda denga kita.
Bisa jadi kedepan tidak akan ada Kader PMII atau organisasi kaderisasi berbasis kepemudaan yang akan ikut serta menjadi aktor dalam dunia pemerintahan melalui jalan politik, karena ketidakmampuan kita dalam membaca tren utama bangsa ini. jika perbaikan kapasitas pada kader PMII tidak segera diperbaiki tentu akan menggerogoti organisasi tercita kita ini.
Saat ini dan kedepan, PMII harus mampu merestorasi dirinya serta ikut serta dalam mengambil peran secara koletif dalam masalah sosial, ekonomi, politik, budaya, pendidikan, politik, serta lapisan kehidupan dari bangsa ini. bukan sebagai pengamat, tapi sebagai aktor utama, inilah tantangan kita kedepan.
Kontributor: Ghozali Nassrul Arif