Isra Mikraj Menurut Muhamadiyah: Ibadah Muamalah
Berita Baru, Jawa Tengah – Memasuki bulan Rajab seperti biasanya tahun-tahun yang lalu, senantiasa diiringin dengan ihwal Isra Mikraj tepatnya 27 Rajab merupakan hari penting di dalam kalender Islam. Sebab pada hari itu terjadi peristiwa besar Isra Mikraj yang menghasilkan perintah salat lima waktu.
Di berbagai negara mayoritas muslim, peringatan Isra Mikraj dilakukan setiap tahun terutama negara seperti Palestina, Chechnya, hingga negara di kawasan Maghreeb Afrika Utara. Di Indonesia, masing-masing suku memiliki tradisi peringatan Isra Mikraj sendiri sebagaimana Rejeban Peksi Buraq di Yogyakarata, Nganggung di Bangka Belitung, Rejeban di Cirebon, Nyadran sebagainya.dan lain
Dalam peristiwa Isra Mikraj yang diperkirakan terjadi antara tahun 620-621 Masehi, Nabi Muhammad SAW diperjalankan dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha dan diangkat ke Sidratul Muntaha menemui Allah. Alqur’an mengabadikan momen ini dalam ayat pertama Surat Al-Isra’. Dikutip dari laman Muhammdiyah.or.id
Bagaimana pandangan keagamaan Muhammadiyah sendiri terhadap meramaikan perayaan Isra Mikraj? Jawabannya ternyata sama dengan hukum merayakan maulid Nabi, yaitu boleh dengan catatan.
“Peringatan Isra Mikraj dalam Putusan Muhammadiyah tidak termasuk bidah karena termasuk ibadah muamalah, tapi tentu kalau dalam Muhammadiyah tidak ada ritual-ritual tertentu, hanya sekedar memanfaatkan hari-hari besar agama Islam itu untuk tabligh akbar, mengadakan diskusi, bedah buku dan lain sebagainya mengungkap makna daripada Isra Mikraj,” demikian Paparan dari Wakil Ketua Lembaga Dakwah Khusus Pimpinan Pusat Muhammadiyah Agus Tri Sundani, Selasa (9/3).
Menurut Agus, kebijakan PP Muhammadiyah itu termaktub dalam model pengembangan dakwah pada dokumen Tanfidz Keputusan Muktamar Satu Abad Muhammadiyah (Muktamar ke-46) di Yogyakarta tahun 2010.
Dalam putusan tersebut memang tercatat poin yang berbunyi, “Melaksanakan pengajian-pengajian umum dalam memperingati hari besar Islam sesuai tema peristiwa baik dengan mubaligh setempat maupun mendatangkan dari Cabang dan Daerah atau lainnya dari lingkungan Persyarikatan.”
“Jadi ya tidak apa-apa selama perayaannya tidak melanggar syari’at tertentu,” tutup Agus.
(SB Kafi)