Ciptakan Ketahanan Pangan di Papua, Program PAPeDA Dorong Pengembangan Produk Keladi
Berita Baru, Jakarta – Festival Torang Pu Para Para yang digagas oleh Program Pertanian Berkelanjutan di Tanah Papua (PAPeDA) berupaya mengembangkan tanaman keladi untuk menciptakan ketahanan pangan sehat dan meningkatkan pengelolaan hasil hutan bernilai ekonomi namun tetap menjaga kelestarian hutan di Papua.
Program PAPeDA yang diselenggarakan oleh Perkumpulan Untuk Peningkatan Usaha Kecil (PUPUK) dan didukung oleh The Asia Foundation (TAF) ini juga bertujuan untuk mempromosikan produk-produk pangan sehat lokal kepada publik, pemerintah, dan swasta secara umum serta kepada pemerintah provinsi Papua dan Papua Barat secara khusus.
Direktur Mnukwar, sebagai salah satu organisasi penggagas budidaya keladi di daerah Papua, Seno Bagus menyebutkan bahwa keladi merupakan produk unggulan di Nenei.
“Salah satu produk unggulan di Nenei, yang dikembangkan masyarakat secara turun temurun, dan mempunyai kualitas yang baik dan produktivitas yang tinggi, salah satunya adalah keladi,” ucap Sena, dalam serial diskusi Festival Torang Pu Para Para Seri II bertajuk Meramu Keladi Untuk Pangan Sehat, Rabu (18/8).
Dalam proses pendampingan budidaya keladi itu, Sena mengatakan bahwa Mnukwar bersama dengan masyarakat berusaha untuk menginisiasi dalam mengembangkan keladi agar dapat menciptakan ketahanan pangan lokal sekaligus masyarakat bisa mendapat nilai ekonomi.
“Keladi merupakan salah satu produk yang coba kita sama-sama gagas dengan mengintensifkan lahan yang ada tanpa membuka lahan-lahan baru untuk bercocok tanam. Ini kemudian yang membuat masyarakat antusias untuk bercocok tanam keladi. Dan kita mencari solusi bagaimana agar produk ini bisa mendapat pasar dan masyarakat mendapat manfaat,” jelasnya.
Pada gilirannya, Kepala Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan Papua Barat, Yacob Fonataba menjelaskan bahwa pemerintah juga berupaya untuk meningkatkan produksi pertanian, termasuk di dalamnya keladi atau talas.
“Kami juga sudah membuat program peningkatan produksi pertanian, sebuah program peningkatan produksi, produktivitas dan mutu tanaman pangan untuk mencapai swasembada dan swasembada berkelanjutan,” papar Yacob.
Karena itu, Yacob menegaskan bahwa pihak pemerintahan akan mendukung pengembangan keladi untuk mencapai ketahanan pangan sehat di Papua.
“Kebijakan saya selaku kepala dinas, untuk dana Otsus (otonomi khusus) kita prioritaskan untuk komoditi yang diusahakan oleh orang asli papua, termasuk di dalam adalah keladi,” tegasnya.
Kenapa Keladi?
Direktur Kinarya Asia Partner, Nanik Rahmawati mengatakan bahwa keladi merupakan pilihan yang tanaman multiguna karena setiap bagian dari tanaman keladi ini bisa dimanfaatkan mulai dari ujung sampai bawah.
“Dari daunnya saja bisa digunakan untuk obat, sayur maupun makanan. Lalu batangnya sendiri untuk sayur. Dan umbinya ini yang paling banyak dikelola untuk ekonomi, yaitu menjadi bahan baku untuk saripati maupun tepungnya, bisa juga digunakan untuk cemilan. Lalu kulit dan akarnya juga bisa digunakan untuk makanan ternak,” jelas Nanik.
Ahli Pengelolaan Pangan, Retnosyari Septiyani juga mengungkapkan bahwa keladi merupakan salah satu bahan pangan lokal, kekayaan khas, terutama di Papua, yang bisa diolah dan dimanfaatkan untuk berbagai macam produk dengan segmen-segmen pasar yang berbeda.
“Untuk daunnya saja, segmen pasar sudah luas, memang diekspor ke Australia atau Amerika. Daun kering bisa digunakan untuk minuman herbal di sana,” jelasnya.
Tidak hanya itu, Retnosyari juga mengatakan umbi dari keladi bisa diolah menjadi makanan yang segar, intermediate product, finish food atau produk jadi yang lebih awet. Dan masing-masing jenis makanan itu bisa disegmen-segmenkan.
Retnosyari dalam kesempatan tersebut menekankan bahwa umbi keladi dalam bentuk intermediate product bisa menjangkau pasar yang sangat luas.
“Lalu yang bisa kita lakukan untuk meningkatkan umur simpannya, adalah dengan Intermediate product, salah satunya dengan pati talas dan tepung. Dari tepung saja, umur simpannya bisa sampai 1-1,5 tahun. Lalu dari intermediate product ini bisa kita buat banyak produk, salah satunya ke arah biskuit atau bakery product. Dan di bakery product ini juga bisa ke arah macem-macem, bisa ke arah bread atau roti, cake, brownies, atau cookies. Bisa juga kita buat mie,” paparnya.
Bahkan, lanjut Retnosyari, dalam masa pandemi ini, keladi bisa mempunyai peluang yang baik.
“Di era pandemi ini, sebetulnya bisa menjadi peluang yang baik, terutama yang menengah ke atas, mereka akan mencari produk-produk yang healthy, sehat. Lah, sehingga produk pangan lokal ini bisa kita giring ke healthy food. Ini bisa kita jadikan isu, terutama untuk pemasaran produk-produk dari keladi,” tegasnya.
Dari segi kandungan pun, menurut Retnosyari, keladi mempunyai banyak kandungan gizi yang bermanfaat.
Prospek dan Tantangan ke Depan
Dari fakta tersebut, keladi mempunyai prospek yang cerah di masa depan sebagai upaya meningkatkan ketahanan pangan lokal.
“Keladi bisa menggantikan beras. Menengah ke atas sudah berusaha mencari alternatif,” tegas Retnosyari.
Nanik Rahmawati juga mengatakan bahwa prospek keladi ke depan ini sangat besar.
“Sangat besar, terutama kalau itu dalam bentuk tepung atau saripati, karena keladi ini tidak tahan lama, jadi harus dibuat agar tahan lama,” ungkapnya.
Namun, Rahmawati juga mengingatkan, bahwa prospek yang besar itu juga membuat budidaya keladi menghadapi tantangan yang besar pula, terutama dalam segi target ketersedian.
“Target lokal dulu selesaikan, lalu ketika sudah mapan kita menuju regional, lalu kita akan menuju ke internasional. Jadi harus dilihat kemampuan diri dan pasar yang akan digapai.” terangnya.
Hal serupa juga dijelaskan oleh Yacob, bahwa ada berbagai permasalahan pengembangan produksi aneka umbi-umbian termasuk keladi, mulai dari sistem hulu, sistem on farm (akses budidaya) hingga sistem hilir.
“Ini yang orang-orang kadang-kadang bicara pertanian tidak lengkap sampai sini, akhirnya masyarakat atau petani mengalami kendala-kendala ekonomi. Misalnya, di Manokwari, dia harus membuka lahan seluas berapa, sarana pendukungnya apa, bagaimana kelembagaannya, sudah terdaftar tidak di Simultan, adakah pendampingan, dan seterusnya, penerapan teknologinya bagaimana dan sebagainya, terutama di hilirisasi, adakah penampungnya, pasarnya,” pungkas Yacob.