Banjir Pesanan! Malam 17 Agustus, Perajin Tumpeng di Boyolali
BERITABARU, BOYOLALI – Bagi masyarakat Boyolali, malam 17 Agustus biasanya identik dengan tirakatan. Dalam kegiatan ini, warga kerap menggelar kenduri dengan sajian tumpeng. Tak ayal, pelaku usaha kecil mikro menengah (UMKM) pembuatan tumpeng banjir pesanan. Jelang 17 Agustus, pesanan tumpeng mencapai 25 buah.
Seperti yang dilakukan Pepeh Sri Suprihatin. Tangan wanita ini tampak cekatan. Setelah membuat nasi tumpeng dengan bentuk lancip tiga tumpuk. Dengan hati-hati, dia menaruh tumpeng nasi kuning tersebut diatas nampan dengan alas daun pisang. Tumpeng setinggi 30 sentimeter ini lantas dihias cantik, dengan lauk pauk berisikan gudangan, kering, sayur sambel goreng ati, ayam, kwetiau dan lainnya. Ditata satu persatu dalam pincuk daun pisang.
Kedai tumpeng di Jalan Tregulo, Kelurahan Pulisen, Boyolali, ini memang lebih sibuk dari biasanya. Pepeh mendapatkan pesanan 25 tumpeng selama tiga hari terakhir. Pada 17 Agustus dia juga harus membuat pesanan tumpeng rowotan yang berisi umbi-umbian. Pesanan dari Mantan Bupati Boyolali, Seno Samudro.
“Saya membuat tumpeng sudah empat tahun terakhir. Awalnya saya tinggal di Bandung, dan di sana kuliner tumpeng itu lengkap dan nikmat. Maka saya coba buka di sini awalnya direspon kurang dan sekarang sudah banyak pelanggan,” jelasnya pada Selasa (16/8).
Pada malam 17 Agustus ini, dia menerima pesanan hingga 25 tumpeng. Rata-rata memesan tumpeng biasa dengan nasi kuning. Khusus 17 Agustus ini, dia memberikan bonus tumpeng buah. Harga tumpeng juga terjangkau. Satu tumpeng berukuran sedang lengkap dengan lauk pauk diharga Rp 150 ribu. Sedangkan tambahan lauk ingkung ayam Jawa hanya seharga Rp 200 ribu.
“Pesanan hampir tiap minggu ada. Terutama untuk acara-acara tertentu, smeua kami layani. Dari kenduri slametan, ulangtahun (Ultah), kenduri kematian dan lainnya. Semua saya masak sendiri, hanya kalau pas ramai begini dibantu sama orang untuk desainnya,” katanya.
Keberadaan tumpeng sering ditemui diacara-acara sakral. Seperti kelahiran, kematian, peringatan-peringatan dan lainnya. Tumpeng menjadi simbol sakral peninggalan nenek moyang. Jika dulu dimaknai sebagai sesaji untuk keselamatan. Dewasa ini, tumpeng menjadi simbol pengharapan dan do’a. Tradisi ini, sudah melekat di masyarakat Jawa.
Pegiat sejarah Boyolali, Surojo mengatakan tumpeng merupakan peninggalan tradisi dari nenek moyang. Nasi yang dipadatkan dan dibentuk bersusun dengan atas kerucut. Menyimbolkan puncak gunung. Perjalanan tumpeng hingga saat ini mengalami berbagai akulturasi budaya. Lalu pada saat agama Hindu masuk, masyarakat meyakini bahwa jiwa manusia berada di puncak gunung.
“Pada masa Hindu yang berkeyakinan bahwa jiwa kita itu di puncak gunung. Maka dibuatlah sesaji tumpeng untuk keselamatan. Lalu perkembangan selanjutnya, tumpeng tetap dipertahankan tapi keyakinannya bergeser. Satu tumpeng dikelilingi tujuh lauk pauk. Atau Jawanya Pitu (Tujuh) yang berarti pitulungan (Pertolongan),” jelasnya.
Pergeseran makna tumpeng kembali mengalami perkembangan. Tumpeng menjadi simbol keselarasan alam, antara bumi dan langit. Dilihat dari bentuk nasi yang mengerucut ke atas. Serta memiliki maksud tumuju kudu mempeng atau ketika memiliki tujuan harus kuat memperjuangnya.
“Tumpeng memang sudah menjadi simbol sejak ratusan tahun silam. Karena memiliki nilai-nilai filosofis mendalam. Sedangkan pada masa sekarang ini, tumpeng dimaknai sebagai sarana pengharapan dan doa. Makanya, ketika di momen-momen sakral seperti peringatan, ulang tahun, dan lainnya, masyarakat masih menggunakan tumpeng, karena mengandung harapan dan doa,” imbuhnya.