Berpulangnya Radhar Panca Dahana dan ‘Budaya Sebagai Kondisi Fundamental Bangsa’
Berita Baru Jateng, Sosial dan Budaya – Kabar duka datang dari budayawan sekaligus Sastrawan Indonesia, Radhar Panca Dahana dikabarkan meninggal dunia akibat serangan jantung sesaat akan melakukan cuci darah di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Kamis (22/4/21) malam.
Menurut pengakuan dari Ratih, adik kandung Radhar, sebelum dibawa ke rumah sakit Radhar diketahui telah mengalami kritis.
“Jam 19.00 WIB itu dia kasih tahu dia (Radhar, red) katanya kritis. Sebelumnya jam 19.00 WIB itu kena serangan jantung. Terus masih diusahakan, tetapi ternyata meninggal dunia,” ungkapnya.
Ratih menjelaskan, sudah sejak lama Radhar menjalani pengobatan karena, penyakit komplikasi.
Meski demikian, Radhar tak pernah mengeluh dan tetap menjalani aktifitas seperti biasanya untuk menafkahi keluarga.
“Sudah lama dia itu, sudah 21 tahun cuci darah, badannya juga sudah ringkih, sudah lemah jadi banyak komplikasi,” sebutnya.
“Seminggu dia tiga kali cuci darah, tapi dia masih tetap mencari nafkah, masih menanggung keluarganya, masih aktif,” tambah Ratih.
Selain itu, dia membeberkan, alharhum akan dimakamkan di TPU Tanah Kusir, Jumat (23/4/21).
“Keluarga rencananya akan memakamkan almarhum di TPU Tanah Kusir,” ujar Ratih.
Sebelum kabar duka itu datang, sebagaimana dikutip dari Beritabaru.co, Radhar sempat menitipkan pesan ketika menjadi narasumber dalam #BERCERITA25, tepatnya dalam serial diskusi mingguan yang diadakan Beritabaru.co.
“Menjadi manusia pada akhirnya adalah menjadi bermanfaat demi mencapai ridho Ilahi,” kata Radhar, Selasa (8/12/20).
Kala itu, dia sedang membahas budaya di Indonesia dan terselenggaranya Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak yang tetap digelar dalam masa pandemi Covid-19.
Diketahui pula, Beritabaru sempat berbincang dengan almarhum dalam menyorot perihal Kepemimpinan dan Kekuasaan dalam Budaya Bangsa Kita. Dalam kacamata Radhar, kebudayaan kita saat ini lebih dicerna sebagai sebuah produk yang dapat diamati.
Makna kebudayaan dipersempit, lanjutnya, disalahpahami dalam ukiran produk material. Kondisi yang demikian membuat kebudayaan itu seperti mati suri. Hidup tapi seperti mati. Wujuduhu kaadamihi.
Alih-alih menyadari. Pemerintah justru abai dengan problema kebudayaan. Menurut Radhar, tak ada negara tanpa bangsa, tiada bangsa tanpa budaya.
“Kondisi yang paling fundamental menurut saya adalah kebudayaan. Sebagian orang ada yang mengatakan ekonomi, politik, atau pendidikan. Tetapi bagi saya fondasi yang utama adalah kebudayaan”ujarnya.
Sayangnya kebudayaan kita lemah. Fondasi kebudayaan ini runtuh hancur. Memengaruhi cara berpikir dan bersikap baik elit maupun masyarakatnya. Fondasi kebudayaan itulah yang menegakkan negeri ini,” lanjutnya.
Meminjam kalimat Kenedi Nurhan jurnalis senior Kompas; Karena itu, Radhar tak pernah berhenti mencari di mana, kapan dan mengapa kebudayaan sejatinya bangsa ini terkubur, sebelum akhirnya diambilalih oleh model ”kebudayaan baru” yang kemudian membentuk peradaban kita hari ini. Sebuah ”peradaban baru” yang dalam pendekatannya berpotensi melahirkan konflik, antara lain karena kecenderungannya yang dominatif dan materialistik.
Hingga saat ini, menurut pria yang menyelesaikan Program S1 Jurusan Sosiologi FISIP Universitas Indonesia (1993) dan studi Sosiologi di École des Hautes Études en Science Sociales, Paris, Prancis (2001), negeri ini masih membangun kesadaran semu. Memandang sebelah mata kebudayaan, diposisikan sebagai objek yang perlu dieksploitasi dan dimanipulasi.
Gerah dengan kelancungan tersebut, arkian Radhar bersama dengan budayawan lainnya membentuk Tim Mufakat Budaya Indonesia (MBI) yang dikoordinatori Radhar sendiri. MBI dibentuk sebagai inisiatif dan upaya gerakan demi memperbaiki tatanan pemerintahan agar memprioritaskan aspek budaya untuk fondasi pembangunan di Indonesia.
Semoga dengan perginya salah seorang budayawan hebat bangsa ini, tak melunturkan spirit dalam mencari arti yang paling mendasar bagi kebudayan Indonesia kita. Lebih jauh, justru spirit Radhar terus tumbuh di benak budayawan-budayawan generasi berikutnya.
(Husein)