
Brando Susanto: Pergi dengan Terhormat, Tinggal dengan Teladan
(Oleh Bung Kafi)
Di utara Jakarta,
angin masih membawa kabar dari gang-gang sempit,
tentang seorang lelaki
yang datang bukan untuk berkuasa,
melainkan untuk berbuat.
Ia bukan orang besar!
Bukan tuan dari partai berlimpah janji!
Ia datang sendirian
dengan sepatu debu,
dengan hati yang masih basah oleh nurani.
Ketika yang lain menebar amplop,
ia menebar keyakinan.
Ketika yang lain membeli suara,
ia memilih kalah
demi tidak menjual harga dirinya!
Dan ketika wabah menutup kota,
ia berjalan,
membawa beras, doa, dan keberanian,
bukan kamera, bukan pencitraan.
Ia tahu
politik bukan kursi,
politik adalah kesediaan hadir
di tengah lapar, di tengah sepi,
tanpa perlu disuruh, tanpa perlu disorot.
Satu tahun ia duduk di kursi dewan,
namun kursi itu tak membuatnya tinggi.
Ia menunduk,
menyimak cerita rakyat kecil,
menulis kebijakan dari napas Rakyat Miskin Kota,
dari keluh sopir Bajai,
dari cucuran peluh pedagang kaki lima.
Dan ketika pagi itu datang,
Tuhan memanggilnya pulang.
Langit Jakarta mendung
bukan karena hujan,
tetapi karena kehilangan orang baik.
Namun dengarlah,
di warung kopi,
di kolong jembatan,
di antara tawa anak-anak pesisir,
namanya masih disebut.
Ia tinggal di hati rakyat,
bukan di prasasti, bukan di patung batu.
Ia pergi dengan terhormat!
Ia mati muda,
tapi meninggalkan umur yang panjang
di dada bangsa yang ia cintai.
Wahai rakyat Jakarta!
Jika kelak kau melihat gedung tinggi itu,
ingatlah:
di sana pernah duduk seorang yang jujur!
Yang datang bukan untuk memerintah,
tetapi untuk melayani.
Brando Susanto
kau telah pergi,
tapi setiap langkahmu menyalakan jejak.
Dan dari setiap jejak itu,
akan tumbuh seribu keberanian baru!