Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Fenomena Melimpahnya Janda Di Indonesia

Fenomena Melimpahnya Janda Di Indonesia



BERITA BARU, OPINI – Perceraian merupakan putusnya ikatan dalam hubungan suami istri berarti putusnya hukum perkawinan sehingga keduanya tidak lagi berkedudukan sebagai suami istri dan tidak lagi menjalani kehidupan bersama dalam suatu rumah tangga.

Pernikahan yang dibangun dengan cinta sekalipun terkadang tidak akan berjalan dengan baik sesuai harapan. Akan ada saja halangan yang bisa memisahkan cinta sudah dirajut oleh sepasang suami istri.

Pengadilan Agama (PA) mencatat terdapat 291.677 perceraian pada 2020. Penyebab tertinggi perceraian disebabkan perselisihan dan pertengkaran terus menerus dengan 176,7 ribu kasus. Penyebab tertinggi selanjutnya dikarenakan oleh masalah ekonomi, yakni 71,2 ribu kasus. Kemudian, ada 34,7 ribu kasus perceraian karena salah satu pihak meninggalkan pihak lainnya. Sementara, 3,3 ribu kasus perceraian terjadi karena adanya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Melihat data-data di atas, sebenarnya tidak menjadi masalah ada banyak para perempuan yang menjanda selama tidak menimbulkan kesulitan bagi dirinya. Hal ini sama seperti fenomena kependudukan lainnya seperti banyaknya pemuda, banyaknya lansia, atau banyaknya balita. Namun fenomena ini menjadi masalah ketika menimbulkan kesulitan bagi mereka. Seperti fenomena banyaknya pemuda akan menjadi masalah ketika banyak pemuda yang pengangguran, banyak lansia akan menjadi masalah ketika mereka terlantar, banyak balita akan menjadi masalah ketika mereka stunting. Kenyatannya, menjadi janda bisa memberikan kesulitan bagi seorang perempuan, tidak hanya secara ekonomi namun juga sosial dan psikologis.

Secara ekonomi, menyandang status janda mungkin tidak masalah bagi mereka yang merupakan perempuan karir atau ditinggal mati oleh suaminya dengan uang pensiunan atau harta kekayaan melimpah. Namun perempuan-perempuan ini hanya sebagian kecil. Kenyataan di lapangan, banyak para janda yang tidak bekerja atau sudah berhenti bekerja ketika menikah, sehingga ketika bercerai mereka harus mencari kerja, namun terbentur di usia yang tidak lagi muda atau pendidikan yang rendah.

Dengan pendidikan yang rendah, pada akhirnya mereka harus rela bekerja serabutan dengan gaji pas-pasan. Belum lagi jika mereka ditinggalkan bersama para anak, tentu akan semakin menambah beban hidupnya.

Selain harus mencari pekerjaan, para janda juga harus menghadapi stigma negatif yang selama ini berkembang di masyakat sebagai perempuan penggoda, genit, dan perebut suami orang.

Dalam urusan percintaan para janda pun tidak lagi seberuntung dan sebebas para gadis. Para janda bukan lagi menjadi pilihan utama para laki-laki karena status “bekas” yang melekat pada dirinya.

Dengan kondisi seperti ini, hendaknya menjadi pelajaran bagi semua pihak, baik para perempuan, orang tua, maupun pemerintah. Bahwa hendaknya seorang perempuan dibekali dengan pendidikan yang baik sebelum menikah, dan pemerintah pun harus menjamin terpenuhinya pendidikan hingga minimal SMA/sederajat dan tidak ada yang putus sekolah. Jangan hanya karena stereotipe bahwa perempuan itu kodratnya dapur- sumur- kasur, lalu menyekolahkan anak perempuan seadanya.

Dengan pendidikan yang tinggi, perempuan akan menjadi permata yang sangat berharga. Jika takdir buruk terjadi, dan perceraian harus terjadi atau suaminya meninggal pun, ia masih bisa menggunakan ilmu dan ketrampilan yang dimilikinya untuk memberdayakan dirinya di lapangan pekerjaan yang lebih baik sehingga dapat menafkahi diri dan anak-anaknya dengan layak.