Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Korupsi Sistemik dan Representasi Global: Jokowi, OCCRP dan Kebenaran yang Tertunda Oleh PDI Perjuangan

Korupsi Sistemik dan Representasi Global: Jokowi, OCCRP dan Kebenaran yang Tertunda Oleh PDI Perjuangan



(Oleh Bung Kafi)

(Penulis Alumni Mahasiswa Filsafat UIN Sunan Kalijaga, Aktivis NU, dan Juga Kader Partai PDI Perjuangan)

Dibalik tingginya nilai tingkat kepuasan masyarakat (Approval Rating) Presiden Ke-7 Jokowi tidak sebanding dengan prestasi yang dirilis oleh Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP). OCCRP merupakan organisasi jurnalisme investigasi terbesar di dunia. Lembaga independent itu merilis sederet finalis yang masuk Person Of The Year 2024  untuk kategori kejahatan organisasi dan korupsi atau Person of the Year 2024 in Organized Crime and Corruption. Sementara itu, sosok yang dianggap paling korup di dunia di tahun ini jatuh kepada mantan Presiden Suriah, Bashar al Assad yang baru-baru ini ditumbangkan oleh kelompok oposisi. Pemerintahan Bashar di Suriah dinilai mendukung kejahatan terorganisir dan korupsi besar-besaran. Hal itu ditandai dengan kontrol terpusat, laku represif terhadap perbedaan pendapat, dan ketergantungan pada aparat keamanan yang kuat. pasukan Assad telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia secara luas, termasuk penyiksaan, pembunuhan, penggunaan senjata kimia, penahanan massal, dan penargetan terhadap warga sipil.

Masyarakat Indonesia kembali terguncang dengan adanya pemberitaan yang mengejutkan dari (OCCRP). Yang mengabarkan bahwa Jokowi masuk sebagai salah satu finalis penghargaan “Person of the Year 2024 in Organized Crime and Corruption.” Penghargaan ini, yang sejatinya adalah kritik terhadap individu atau entitas yang dianggap memiliki kontribusi besar terhadap korupsi dan kejahatan terorganisasi, memantik diskursus yang luas tentang tata kelola pemerintahan di Indonesia.

Opini tersebut juga menjadi pukulan telak bagi para pemuja jokowi, pasalnya kemampuan jokowi dalam memukai publik dan menghegemoni publik luar biasa mengena hingga sendi-sendi sosial kemasyarakatan. Akhirnya dapat dibongkar bahwa selama ini hanyalah peran media yang cendrung membingkai persepsi positif terkait kinerja pemerintahan Jokowi. Edwards, Mitchell, da Welch (1995) menunjuhkan semakin besar penekanan suatu isu yang berpengaruh positif terhadap pemerintah oleh media maka semakin besar pula dampaknya pada tingkat kepuasan terhadap pemerintah tersebut. Media yang merupakan alat hegemoni kekuasaan atau kepentingan telah mampu dirampungkan oleh Jokowi sehingga tidak mengherankan jika semua informasi publik seolah membenarkan semua putusan dan tindakannnya.   

Atas peristiwa diatas menarik kita membaca mengunakan kerangka teori representasi yang dikemukakan Stuart Hall dalam Cultural Representations and Signifying Practices (1997), masuknya Jokowi dalam daftar ini mencerminkan bagaimana tokoh dan fenomena politik tertentu dikonstruksi dalam wacana global. Representasi bukan hanya tentang penggambaran realitas, tetapi juga tentang bagaimana makna diciptakan, dikontrol, dan diterima oleh audiens global. Dalam kasus ini, nama Jokowi direpresentasikan sebagai simbol dari korupsi sistemik dan praktik oligarki yang merusak demokrasi di Indonesia.

Representasi Korupsi Sistemik melalui Wacana OCCRP

Stuart Hall menyatakan bahwa representasi adalah proses di mana makna diciptakan melalui bahasa dan praktik budaya. Dalam konteks OCCRP, masuknya nama Jokowi menciptakan Signifying Practices yang mengaitkannya dengan fenomena korupsi sistemik. Hal ini memperkuat narasi global bahwa korupsi tidak hanya merupakan tindakan individu, tetapi merupakan hasil dari struktur kekuasaan yang melibatkan banyak aktor dan institusi.

Sebagai pemimpin negara terbesar di Asia Tenggara, Jokowi sering dipuji atas pembangunan infrastruktur dan keberhasilan diplomatiknya. Namun, OCCRP menyoroti sisi gelap pemerintahannya, termasuk penguatan oligarki, lemahnya penegakan hukum terhadap korupsi, dan eksploitasi sumber daya alam yang sering kali melibatkan konflik kepentingan. Representasi ini relevan dengan kritik-kritik yang muncul di dalam negeri terkait sejumlah kasus yang melibatkan dirinya dan keluarganya.

Signifying Practices dalam Kasus-Kasus Terkait Keluarga Jokowi

Masuknya Jokowi dalam daftar OCCRP juga tak lepas dari sejumlah kasus yang menyoroti peran keluarganya dalam dinamika politik dan ekonomi Indonesia. Berikut beberapa contoh yang mencerminkan kritik terhadap tata kelola pemerintahan Jokowi:

Pelanggaran UU pada Pencalonan Gibran Rakabuming Raka Pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon Wakil Presiden 2024 menjadi sorotan tajam karena melanggar Undang-Undang Pemilu terkait usia minimal pencalonan. Langkah ini menuai kritik tajam dari Publik dan PDI Perjuangan yang sejak awal menentang pencalonan ini karena bertentangan dengan prinsip demokrasi dan hukum yang telah ditetapkan. Pelanggaran ini menjadi simbol manipulasi kekuasaan yang merusak proses demokrasi, sekaligus mencerminkan adanya upaya untuk mengamankan dinasti politik.

Selanjutnya pada Kasus Korupsi Blok M yang Melibatkan Bobby Nasution Nama Bobby Nasution, menantu Jokowi sekaligus Wali Kota Medan, disebut-sebut dalam kasus korupsi Blok M yang menjadi salah satu isu besar dalam pemberantasan korupsi. Meski belum ada penyelesaian hukum yang jelas, keterlibatan nama anggota keluarga Jokowi dalam kasus ini memperkuat persepsi tentang konflik kepentingan di lingkaran kekuasaan. Hal ini juga menunjukkan lemahnya penegakan hukum dalam menghadapi elite politik, dan menunjuhkan bahwa penguasa dan lingkungannya kerap tak mampu dijamah hukum sementara kelompok diluar kekuasaan atau oposisi dan rakyat biasa hukum kerap sangat kritis.

Selanjutnya pada Kasus dugaan gratifikasi yang terjadi pada Kaesang Pangarep terkait penggunaan jet pribadi secara prinsip telah memenuhi unsur Pasal 12B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang gratifikasi, mengingat fasilitas tersebut berpotensi diberikan karena statusnya sebagai anak Presiden Joko Widodo. Meski demikian, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terlihat enggan menindaklanjuti kasus ini secara tegas, memunculkan dugaan bahwa lembaga antikorupsi tersebut tidak independen dalam menangani kasus yang melibatkan keluarga pejabat negara. Sikap pasif KPK ini memperkuat persepsi publik bahwa keberanian lembaga ini untuk menegakkan hukum telah melemah, terutama jika menyentuh lingkaran kekuasaan, sehingga merusak kepercayaan terhadap integritas sistem hukum di Indonesia.

Manipulasi Pilkada 2024 Dalam proses pilkada 2024, laporan dari Tempo dan Bocor Alus mengungkap adanya dugaan manipulasi secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) di sejumlah provinsi, yang sangat mencolok diantaranya Jatim, Jateng, DKI Jakarta, Sumatera Utara. Dalam konteks ini, PDI Perjuangan menjadi satu-satunya partai yang berani secara lantang mengkritik fenomena ini. Manipulasi ini diduga melibatkan aparat negara dan sumber daya lainnya untuk mendukung kandidat tertentu yang berafiliasi dengan lingkaran kekuasaan Jokowi. Keberanian PDI Perjuangan dalam mengungkap kecurangan ini mencerminkan sikap tegas partai terhadap prinsip demokrasi.

Konflik Jokowi dengan PDI Perjuangan: Dinamika Representasi Ideologis

Hubungan antara Jokowi dan PDI Perjuangan mengalami ketegangan yang memuncak menjelang pencalonan presiden 2024. Keputusan Jokowi untuk mendukung pencalonan putranya Gibran Rakabuming Raka sebagai Wakil Presiden mendampingi Prabowo, yang jelas-jelas melanggar hukum, dan mengunakan jalur Paman sebagai pemutus hukum di MK menjadi titik perpisahan jalan antara dirinya dan partai yang membesarkannya. Konflik ini semakin nyata ketika pada 16 Desember 2024 pasca pilkada, PDI Perjuangan secara resmi memecat Jokowi dan keluarganya dari keanggotaan partai.

Langkah ini menunjukkan keberanian PDI Perjuangan dalam mempertahankan prinsip perjuangan partai. Diakui atau tidak pasca pisah ranjang ideologi anatara Jokowi dan PDI Perjuangan, PDI Perjuangan menjadi satu-satunya partai yang sangat kritis terhadap pemerintah hingga akhir jabatan Jokowi. Selama ini, kritik PDI Perjuangan terhadap Jokowi kerap diabaikan atau dianggap sebagai retorika politik belaka. Namun, masuknya Jokowi dalam daftar OCCRP memberikan legitimasi atas tuduhan-tuduhan partai terhadapnya. Dengan kata lain, opini internasional ini menjadi bukti bahwa kritik PDI Perjuangan bukan sekadar isu internal, melainkan representasi dari kebenaran yang tertunda senada dengan tagline PDI Perjuangan dalam musim politik Satyam Eva Jayate yang artinya Kebenaran pasti akan menang.

Implikasi Wacana Representasi dalam Politik Global dan Lokal

Representasi Jokowi dalam wacana global sebagai simbol korupsi sistemik memiliki beberapa implikasi penting:

Pertama, Persepsi Internasional tentang Indonesia Nama Jokowi dalam daftar OCCRP dapat memengaruhi citra Indonesia di mata dunia, memperkuat persepsi bahwa negara ini masih bergulat dengan masalah korupsi dan oligarki. Hal ini dapat memengaruhi hubungan diplomatik dan investasi internasional. Akhirnya Presiden Prabowolah yang mendapatkan pil pahit atas prilaku jokowi selama 10 tahun terakhir, yang seharusnya Prabowo bisa gaspol Bangun Negeri kini berpotensi akan terhambat atas kepercayaan dunia internasional terhadap Indonesia.

Kedua, Refleksi terhadap Tata Kelola Nasional Kritik OCCRP memberikan kesempatan bagi Indonesia untuk merefleksikan kelemahan dalam tata kelola pemerintahan. Penegakan hukum yang tegas terhadap kasus korupsi dan manipulasi politik harus menjadi prioritas utama untuk memperbaiki citra negara. Upaya penyelamatan negara hari ini harus dimulai dari penguasanya sendiri, kendatipun misalnya Gibran terpilih menjadi Wakil Presiden dengan melanggar UU, nah harus mampu keluar dari kedaan ini guna melihat dan merumuskan langkah strategis apa dan bagaimana pemerintah dan seluruh steak holder demi menyelamatkan negara dari bahaya sisi gelab kekuasaan, manipulasi, nan eksploitasi.   

Ketiga Penguatan Demokrasi dan Transparansi Manipulasi pilkada dan pelanggaran hukum dalam pencalonan politik menunjukkan perlunya reformasi mendalam dalam sistem pemilu. Pemerintah dan partai politik harus memastikan bahwa demokrasi dijalankan secara transparan dan adil. Partai politik sebagai pilar demokrasi harus kembali kepada khitahnya, harus mampu menjaga keseimbangan pragmtisme dan kritisisme, berkompetisi secara kompetitif meletakan kepentingan bangsa diatas kepentingan apapun.

Masuknya Joko Widodo dalam daftar finalis OCCRP 2024 bukanlah sekadar kritik personal, melainkan cerminan dari kegagalan sistemik dalam tata kelola pemerintahan. Dari pelanggaran hukum pada pencalonan Gibran, dugaan korupsi yang melibatkan anggota keluarganya, hingga manipulasi pilkada 2024, semua ini menunjukkan betapa kuatnya pengaruh oligarki dalam struktur politik Indonesia. Sikap tegas PDI Perjuangan dalam menggugat praktik-praktik ini menjadi penyeimbang yang penting untuk menjaga integritas demokrasi.

Sebagai bangsa, Indonesia harus memanfaatkan kritik ini sebagai momentum untuk memperbaiki sistem politik dan hukum yang selama ini cenderung dimanfaatkan oleh segelintir elit. Hanya dengan komitmen terhadap reformasi dan akuntabilitas, Indonesia dapat keluar dari bayang-bayang korupsi sistemik dan mewujudkan demokrasi yang sehat dan inklusif. Dengan demikian, apa yang disampaikan PDI Perjuangan selama ini terbukti benar. Kritik terhadap Jokowi bukan hanya tentang kekecewaan internal, tetapi juga tentang upaya menjaga demokrasi yang bersih dan berintegritas bagi masa depan bangsa.