Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Mantan Dirut PT Pelindo II Menjadi Tahanan KPK, Berikut Kronologi Kasusnya
(Foto: Antara Foto)

Mantan Dirut PT Pelindo II Menjadi Tahanan KPK, Berikut Kronologi Kasusnya



Berita Baru Jateng, Jakarta – Manatan Direktur Utama PT Pelindo II Richard Joost Lino resmi ditahan ditahan oleh KPK atas dugaan tindak pidana korupsi proyek pengadaan tiga unit Quay Container Crane (QCC) di PT Pelindo II tahun 2010.

Pelaksana Tugas (Plt) Juru Bicara KPK Bidang Penindakan, Ali Fikri mengungkapkan, penyidik menahan tersangka selama 20 hari terhitung sejak tanggal 26 Maret 2021 di Rumah Tahanan Negara Klas I Cabang, KPK.

“Sebelumnya, KPK telah menetapkan dan mengumukan RJL sebagai tersangka pada Desember 2015,” kata Ali dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, mengutip Validnews.id, Jumat (26/3).

Selama proses penyidikan,imbuh Ali, telah dikumpulkan berbagai alat bukti. Antara lain keterangan 74 orang saksi dan penyitaan barang bukti dokumen yang terkait dengan perkara ini.

Lino disangka dengan Pasal 2 ayat 1 dan/atau Pasal 3 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Ali lalu menjelaskan mengenai runtutan perkara ini. Pada 2009, PT Pelindo II membuka lelang untuk pengadaan tiga Unit QCC dengan spesifikasi single lift untuk Cabang Pelabuhan Panjang, Palembang, dan Pontianak yang dinyatakan gagal sehingga dilakukan penunjukan langsung kepada PT Barata Indonesia (Persero).

Namun, penunjukan langsung tersebut juga batal karena tidak adanya kesepakatan harga dan spesifikasi barang tetap mengacu kepada standar Eropa.

Selanjutnya, pada 18 Januari 2010, Lino diduga mengeluarkan disposisi surat memerintahkan Ferialdy Noerlan, Direktur Operasi dan Teknik Pelindo II melakukan pemilihan langsung dengan mengundang tiga perusahaan. Yakni, ZPMC (Shanghai Zhenhua Heavy Industries Co. Ltd,) dari China, Wuxi, HDHM (HuaDong Heavy Machinery Co. Ltd,) dari China, dan Doosan dari Korea Selatan.

Pada Februari 2010, RJL diduga kembali memerintahkan untuk mengubah Surat Keputusan Direksi PT Pelindo II tentang Ketentuan Pokok dan Tatacara Pengadaan Barang/Jasa di Lingkungan PT Pelindo II. Sehingga mencabut ketentuan penggunaan komponen barang atau jasa produksi dalam negeri.

Surat Keputusan Direksi PT Pelindo II tersebut menggunakan tanggal mundur (back date), sehingga HDHM dinyatakan sebagai pemenang pekerjaan.

Penunjukan langsung HDHM diduga dilakukan oleh Lino dengan menuliskan disposisi “GO FOR TWINLIFT” pada kajian yang disusun oleh Direktur Operasi dan Teknik.

Padahal, pelaporan hasil klarifikasi dan negosiasi dengan HDHM ditemukan bahwa produk HDHM dan produk ZPMC tidak lulus evaluasi teknis karena barangnya merupakan standar China dan belum melakukan ekspor QCC ke luar China.

Kemudian pada Maret 2010, Lino diduga memerintahkan Direktur Operasi dan Teknik melakukan evaluasi teknis atas QCC Twin Lift HDHM.

Selanjutnya, ia memberi disposisi kepada Saptono R Irianto selaku Direktur Komersial dan Pengembangan Usaha, melakukan kajian operasional dengan kesimpulan QCC Twin Lift tidak ideal untuk Pelabuhan Palembang dan Pelabuhan Pontianak.

Untuk pembayaran uang muka dari PT Pelindo II pada pihak HDHM, RJL diduga menandatangani dokumen pembayaran tanpa tanda tangan persetujuan dari Direktur Keuangan.

Jumlah uang muka yang di bayarkan mencapai US$24 juta yang di cairkan secara bertahap.

Penandatanganan kontrak antara PT Pelindo II dengan HDHM dilakukan saat proses pelelangan masih berlangsung dan begitu pun setelah kontrak ditandatangani masih dilakukan negosiasi penurunan spesifikasi dan harga, agar tidak melebihi nilai Owner Estimate (OE).

Untuk pengiriman tiga unit QCC ke Cabang Pelabuhan Panjang, Palembang, dan Pontianak dilakukan tanpa commision test yang lengkap di mana commission test tersebur menjadi syarat wajib sebelum dilakukannya serah terima barang.

Harga kontrak seluruhnya US$15,554 juta terdiri dari US$5,344 juta untuk pesawat angkut berlokasi di Pelabuhan Panjang. Kemudian, US$4,922 juta untuk pesawat angkut berlokasi di Pelabuhan Palembang dan US$5,29 juta untuk pesawat angkut berlokasi di Pelabuhan Pontianak.

KPK telah memperoleh data dari ahli ITB bahwa Harga Pokok Produksi (HPP) tersebut hanya sebesar US$2,99 juta untuk QCC Palembang, US$3,35 juta untuk QCC Panjang dan US$3,31 juta untuk QCC Pontianak.

Kerugian negara dalam pemeliharaan tiga unit QCC tersebut sebesar US$22,83 juta. Sedangkan untuk pembangunan dan pengiriman barang tiga unit QCC tersebut BPK tidak menghitung nilai kerugian negara.

Pasalnya, bukti pengeluaran riil HDHM atas pembangunan dan pengiriman tiga unit QCC tidak diperoleh, sebagaimana surat BPK tertanggal 20 Oktober 2020.

(Husein)