Masyarakat Warung Kopi Adakan FGD Dengan Tema ‘Kegagalan Pemerintah Dalam Menangkal Radikalisme’
Berita Baru Jateng, Sosial dan Budaya – Menanggapi maraknya gerakan radikalisme di Indonesia, Masyarakat Warung Kopi (MASKOP) menyelenggarakan Forum Grup Discussion (FGD) dengan tema “Kegagalan Pemerintah Dalam Menangkal Radikalisme” yang diselenggarakan di ruang Pusat Study Pancasila (PSP) Universitas Pembangunan Veteran, Yogyakarta, pada Selasa (6/4/21).
Pembicara dalam acara tersebut adalah Miftahul Awal Rahman selaku Mahasiswa asal Sulawesi Selatan, M. Nur Iskan (Wakil Presma UMY), M. Ja’far (Presma UIN Suka), Pancar Setiabudi (Presma UII), Nihayatuz Zain (Aktifis Gender), dan Ach. Mubarok (Koordinator Wilayah BEM-Nus Yogyakarta)
MASKOP, pada kegiatannya, mengungkapkan rasa prihatin atas gerakan-gerakan radikal yang akhir-akhir ini mulai bermunculan kembali. Menimbang setelah hampir dua tahun terakhir negara sedang dalam bencana besar Covid-19, disaat bencana besar itu mulai reda dengan gerakan vaksinasi, justru seketika aksi teror dan pengeboman kembali muncul.
Miftahul Awal Rahman menuturkan, bahwa masyarakat Sulawesi adalah masyarakat yang sangat kuat memegang teguh adat dan istiadat. Sehingga kejadian bom yang terjadi di Sulawesi 28 Maret kemarin, menjadi duka tersendiri bagi Mahasiswa Sulsel.
“Sejauh ini belum ada sosialisasi pencegahan tindakan radikalisme. Jika pun ada, itu hanya segelintir saja yang menerimanya. Itu sangat tragis apalagi kita sebagai orang daerah,” tuturnya.
Adapun menurut Nur Iskan, pelaku teror seringkali menyebut tindakan itu sebagai jihad yang menurutnya itulah jalan untuk menempuh kehidupan yang abadi. Untuk itu, perlu pemahaman yang luas bagi masyarakat khususnya mahasiswa dan kaula muda tentang paham radikal.
“Secara konsep pendidikan kampus, harus terjalin adanya [pemahaman untuk] saling terlibat aktif [tentang isu radikalisme] ketika menyampaikan materi di perkuliahan.” ujarnya.
Sedangkan bagi Ja’far, agama senantiasa mengjak pada kesejahteran, dan tidak pernah menghendaki kebencian baik pribadi maupun kelompok.
“Dalam perkembangannya, agama hanyalah dijadikan kendaraan dalam menyampaikan tindakan radikalisme.” Tegasnya.
Menilik dari aspek gender, Nia menyebut adanya pemahaman yang cenderung maskulin oleh pemerintah terhadap tindak pelaku terorisme.
“Hal ini tidak lepas dari faktor yang melatarbelakanginya, terutama posisi perempuan dalam agama islam. Salah satu contohnya adalah pengeboman gereja di Surabaya, yang ketika dikonfirmasi alasannya hanya untuk balas dendam dikarenakan suaminya ditangkap.’ Terangnya.
Selanjutnya, Menurut Pancar, kebijakan pemerintah hari ini perlu dipertanyakan lagi, terutama menteri pendidikan.
“Sejauh ini belum ada keselarasan antara kebutuhan masyarakat dengan keinginan pemerintah. Akhirnya ketika berbicara gerakan radikalisme maka hanya melahirkan ambiguitas, sebab yang terjadi belum terpenuhinya kebutuhan masyarakat dalam segala sektor.” Katanya.
Menanggapi hal itu, Barok menyebut saat ini pemerintah sukses memelihara gerakan radikalisme.
“Jangan-jangan gerakan radikalisme ini mememang sengaja dibiarkan dalam rangka menurunkan segala macama anggaran.” Tandasnya.
(Husein)