Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Melihat Perayaan Idul Adha Dari Perspektif Keadilan Gender

Melihat Perayaan Idul Adha Dari Perspektif Keadilan Gender



BERITABARU, OPINI – Setiap tanggal 10 Dzulhijjah, umat Islam seluruh dunia memperingati salah satu hari besarnya yang disebut sebagai ‘Idul Adha’ atau ‘Hari Raya Haji’. Ada juga yang menyebutnya dengan ‘Idul Qurban’ karena pada perayaan tersebut identik dengan ritual penyembelihan hewan kurban. Dimana prosesi tersebut dilakukan sebagai upaya umat Islam mendekatkan diri kepada Allah swt. dengan cara menyembelih hewan kurban untuk kemudian dibagikan kepada umat yang membutuhkan.

Hari raya ini diperingati dengan merujuk pada latar historisnya yakni pada perintah penyembelihan Nabi Ismail. Nabi Ismail sendiri dan ayahnya, Nabi Ibrahim begitu lekat dan identik dengan peringatan Idul Adha. Sejak kecil, kita hanya diperkenalkan dengan dua tokoh tersebut setiap kali membahas sejarah perayaan Idul Adha. Bagaimana kultur masyarakat dan pemahaman sejarah kita lebih cenderung menonjolkan tokoh-tokoh tertentu yang dianggap sebagai pemeran utama dan mengesampingkan peran tokoh-tokoh lain yang jarang sekali dikaji perannya.

Yakni Siti Hajar, perempuan yang menjadi ibu dari Nabi Ismail dan istri dari Nabi Ibrahim. Sosok perempuan kuat dan sabar ini yang suatu ketika dinikahi oleh Nabi Ibrahim atas restu istrinya yang sah, Siti Sarah. Dari pernikahan itu, kemudian lahirlah seorang putra yang begitu didambakan oleh Nabi Ibrahim, yakni Ismail. Dari rahim perempuan Bernama Siti Hajar inilah, lahir seorang manusia yang akan meneruskan dakwah kenabian dan melahirkan generasi Nabi sampai baginda Rasululloh SAW. Betapa sangat mulia perempuan bernama Siti Hajar tersebut.

Sebagaimana juga disebutkan oleh Nyai Nur Rofiah dalam forum Lingkar Ngaji KGI, seri ke 28, sifat-sifat tabah Siti Hajar juga tercermin ketika ia tetap rela meski harus ditinggalkan oleh Nabi Ibrahim di sebuah gubuk di tengah padang pasir Kota Makkah yang tandus sebagaimana yang diriwayatkan oleh sejarawan At-Tabari dan Ibnu al Atsir. Meski awalnya berat hati dan putus asa dengan kelangsungan hidupnya dan putranya Ismail di tempat gersang dan tak berpenghuni tersebut, Siti Hajar tetap tetap mengimani bahwa Allah swt. tidak akan pernah membiarkannya sendirian.

Kesabaran yang luar biasa juga ditujukan Siti Hajar ketika dia berjuang mencari air untuk Ismail yang kehausan.  Dengan sekuat tenaga, ia berlari dari Bukit Safa ke Bukit Marwah sampai bolak-balik sebanyak tujuh kali. Peristiwa inilah yang dikemudian hari menjadi rujukan dari salah satu rukun haji, yakni Sa’i. Disini nampak bagaimana kontribusi peran seorang Siti Hajar dengan membuat sejarah yang berdampak sampai hari ini dan selamanya dalam salah satu rukun Islam, yakni Haji.  

Sekali lagi, sifat keimanan yang luar biasa ditunjukkan Siti Hajar dengan bertwakal pada Allah swt. agar diberikan pertolongan baginya dan putranya yang menangis kehausan. Akhirnya, mukjizat Allah swt. dalam bentuk air zamzam yang muncul dari hentakan kaki Ismail di tanah yang tandus. Air yang terus mengucur deras itu kemudian menjadi sebuah mata air yang tidak pernah kering dan rutin dikunjungi pada setiap kali ibadah haji dilaksanakan. Sekali lagi, seorang perempuan bernama Siti Hajar dengan segenap keimanan dan ketakwaannya pada Allah swt. menciptakan sejarah yang hingga kini menjadi sebuah situs yang dikunjungi oleh triliunan umat manusia setiap tahunnya dalam rangka beribadah kepada Allah swt.

Kemudian ketika turun perintah kepada Nabi Ibrahim untuk menyembelih putranya, Ismail, bukan hanya Nabi Ibrahim yang merasa keberatan dan tidak rela menyerahkankan Ismail terlebih juga Siti Hajar, sang ibu. Namun, dengan segenap keimanan dan ketakwaan yang utuh, Siti Hajar mencoba meyakinkan suaminya untuk merelakan putra satu-satunya yang begitu mereka sayangi. Dan pada akhirnya, ketakwaan dua manusia ini dihadiahi oleh Allah swt. lewat perantara malaikat Jibril yang membawakan seekor domba untuk disembelih menggantikan Ismail. Peristiwa inilah yang kemudian menjadi rujukan perayaan Idul Adha yang kita lakukan hari ini.

Jejak-jejak kontribusi Siti Hajar bisa kita saksikan hingga hari ini, baik dalam bentuk rukun peribadahan maupun situs sejarah. Tidak dapat dinihilkan, peran tokoh perempuan sebagai tokoh yang juga berperan penting dalam sejarah umat Islam, perlu untuk terus digaungkan dan diceritakan kepada generasi-generasi selanjutnya. Berbicara tentang Idul Adha, kita tidak bisa melupakan peran Siti Hajar. Seorang perempuan dengan sifat mulia, sabar, tabah, lagi beriman kepada Allah swt. Peran tersebut sebagai bagian integral dari kesejarahan umat Islam, yang tanpanya, peristiwa yang menjadi sejarah seperti Idul Qurban ini mungkin tidak akan pernah terjadi. Mungkin juga tidak akan ada rukun Sa’i dalam ibadah haji atau kita bahkan tidak akan pernah tahu tentang air zamzam dan bagaimana rasanya. Inilah cara bagaimana Allah swt. memberitahu manusia tentang nilai kesetaraan dan kesalingan antara manusia laki-laki dan perempuan. Perempuan dan laki-laki harus bekerjasama berperan memberikan kebermanfaatan seluas-luasnya. Perempuan dan laki-laki sama-sama bisa menjadi tonggak sejarah dan menginspirasi peristiwa-peristiwa di masa depan. 

Penulis merupakan lulusan Sarjana Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Ma’arif Nahdatul Ulama Kebumen, Founder Ruang Ramah