Mengatasi Tantangan Pemilu: Transparansi dan Pengawasan sebagai Pilar Demokrasi
(Oleh Bung Kafi)
(Penulis Alumni Mahasiswa Filsafat UIN Sunan Kalijaga, Aktivis NU, dan Juga
Kader Partai PDI Perjuangan)
Pemilu adalah pilar utama demokrasi, tempat di mana rakyat menentukan arah masa depan bangsa dengan hak suaranya. Dalam konteks Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dan pemilu legislatif, transparansi menjadi unsur yang sangat vital untuk memastikan integritas dan kepercayaan publik terhadap sistem demokrasi. Salah satu aspek paling penting dalam transparansi pemilu adalah pengawasan terhadap jumlah surat suara yang digunakan, sisa surat suara, serta pelaksanaan proses pemilu di setiap Tempat Pemungutan Suara (TPS). Tanpa transparansi yang jelas, kecurigaan terhadap keabsahan hasil pemilu akan selalu muncul.
Indonesia sudah memiliki kerangka hukum yang cukup kuat untuk memastikan transparansi dalam pemilu. Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik menjamin hak setiap warga negara untuk mendapatkan informasi publik, termasuk terkait dengan pelaksanaan pemilu. Pasal 2 UU ini menegaskan bahwa badan publik, seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU), wajib menyediakan informasi yang dapat diakses masyarakat secara terbuka. Selain itu, Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mempertegas kewajiban KPU untuk menyediakan informasi yang transparan terkait tahapan pemilu, mulai dari jumlah surat suara yang tercetak, digunakan, hingga sisa surat suara yang ada di setiap TPS. Walaupun secara hukum sudah jelas, sering kali pelaksanaannya menemui berbagai kendala, baik teknis maupun non-teknis.
Masalah Teknis dan Praktik Curang di TPS
Di lapangan, kita sering menemukan masalah teknis yang menghambat pelaksanaan pemilu secara transparan. Misalnya, ketidaksesuaian antara jumlah surat suara yang digunakan dan jumlah pemilih yang hadir, kotak suara yang tidak terpantau secara ketat, hingga penempatan bilik suara yang tidak strategis. Praktik-praktik seperti ini tidak hanya merusak prinsip transparansi, tetapi juga membuka celah untuk terjadinya manipulasi hasil pemilu.
Dalam beberapa laporan dari berbagai daerah, terdapat temuan bahwa petugas KPPS memberikan arahan kepada pemilih atau bahkan menggunakan aksesoris yang dapat menimbulkan kesan merusak kertas suara. Hal ini jelas bertentangan dengan prinsip netralitas yang seharusnya dijunjung tinggi oleh petugas pemilu. Selain itu, penghitungan suara yang dilakukan tidak secara terbuka dan terbatasnya akses publik terhadap informasi tentang jumlah surat suara yang telah digunakan maupun yang tersisa, menambah kompleksitas persoalan transparansi ini.
Tantangan dalam Pemilu Berdasarkan Komposisi Pemilih
Transparansi dalam pelaksanaan pemilu juga berkaitan erat dengan pemahaman dan partisipasi masyarakat. Pemilu yang transparan tidak hanya bergantung pada sistem yang baik, tetapi juga pada kualitas partisipasi publik. Salah satu aspek penting adalah komposisi pemilih, yang beragam berdasarkan generasi. Di Jawa Tengah, misalnya, dalam Pilkada 2024, komposisi pemilih berdasarkan generasi menunjukkan pola yang cukup signifikan:
- Silent Generation (Pre-Boomers, Sebelum 1945): Sekitar 3% atau 720.000 pemilih. Sebagian besar dari kelompok ini adalah lansia yang membutuhkan perhatian khusus terkait aksesibilitas di TPS.
- Baby Boomers (1946-1964): Sekitar 15% atau 3,6 juta pemilih. Generasi ini memiliki tingkat partisipasi tinggi dan kesadaran politik yang kuat.
- Generasi X (1965-1980): Sekitar 30% atau 7,2 juta pemilih. Mereka memiliki tingkat partisipasi yang stabil dalam setiap pemilu.
- Generasi Milenial (1981-1996): Sekitar 40% atau 9,6 juta pemilih. Milenial menjadi kelompok terbesar yang sangat berpengaruh dalam pembentukan opini publik, terutama melalui media sosial.
- Generasi Z (1997-2012): Sekitar 12% atau 2,88 juta pemilih. Sebagai pemilih pemula, mereka memiliki literasi digital yang tinggi meski literasi politik mereka bervariasi.
Setiap generasi membawa tantangan tersendiri dalam memastikan pemilu yang adil dan transparan. Misalnya, generasi yang lebih tua cenderung lebih sulit dijangkau dengan platform digital, sementara generasi muda, khususnya Milenial dan Z, lebih sering menjadi sasaran kampanye melalui media sosial. Oleh karena itu, KPU dan penyelenggara pemilu lainnya perlu menyesuaikan metode kampanye dan pendidikan pemilih agar bisa menjangkau semua lapisan masyarakat.
Potensi Celah Pelanggaran di TPS
Selain masalah teknis, terdapat beberapa celah pelanggaran yang perlu dicermati dalam proses pencoblosan di TPS. Berdasarkan laporan pengawas pemilu dan pengamat politik, beberapa bentuk pelanggaran yang kerap terjadi adalah sebagai berikut:
- Manipulasi Daftar Pemilih Tetap (DPT): Penggunaan nama ganda, pemilih fiktif, atau data pemilih yang tidak valid menjadi celah besar dalam menciptakan suara palsu. Hal ini menjadi persoalan yang sering terjadi di banyak TPS.
- Praktik Politik Uang: Politik uang, yang digunakan untuk memengaruhi pemilih, adalah praktik yang paling sering terjadi. Meskipun sering sulit dideteksi di tingkat lapangan, praktik ini sangat merusak integritas pemilu.
- Kurangnya Transparansi Petugas KPPS: Laporan pengawas menyebutkan adanya masalah independensi petugas KPPS yang dapat memengaruhi proses pemungutan suara. Misalnya, adanya keberpihakan terhadap calon tertentu yang dilakukan oleh petugas yang seharusnya netral.
- Minimnya Pengawasan: Banyak TPS di daerah terpencil yang kekurangan pengawas, atau pengawasan yang ada tidak efektif. Hal ini membuka ruang bagi terjadinya kecurangan yang tidak terdeteksi.
Teknologi sebagai Solusi untuk Meningkatkan Transparansi
Transparansi pemilu yang optimal tidak hanya bergantung pada aturan hukum, tetapi juga pada penggunaan teknologi informasi yang efektif. Platform digital atau aplikasi pemilu yang dapat memberikan informasi secara real-time mengenai jumlah surat suara yang digunakan, yang tersisa, serta perkembangan penghitungan suara dapat meningkatkan keterbukaan. Teknologi juga memungkinkan masyarakat untuk melakukan pengawasan secara langsung dan lebih luas. Selain itu, transparansi harus dibarengi dengan pengawasan yang kuat, baik dari pihak independen maupun masyarakat sipil. Keterlibatan pengawas dan masyarakat dalam pengawasan pemilu menjadi kunci untuk menciptakan pemilu yang jujur dan adil.
Kepercayaan Masyarakat adalah Kunci Demokrasi
Keberhasilan demokrasi tidak hanya diukur dari banyaknya pemilih yang datang ke TPS, tetapi juga dari seberapa besar kepercayaan masyarakat terhadap sistem pemilu. Transparansi dalam setiap tahap pelaksanaan pemilu adalah hak masyarakat untuk memastikan bahwa pemilu yang dijalankan sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi yang diamanatkan oleh hukum. Oleh karena itu, semua pihak—baik penyelenggara pemilu, partai politik, maupun masyarakat—memiliki tanggung jawab untuk menjaga integritas pemilu dan memastikan bahwa pemilu yang dijalankan benar-benar mencerminkan kehendak rakyat.
Pendapat Pakar Politik, Menurut Dr. Hendra Wijaya, pakar politik dari Universitas Indonesia, “Transparansi adalah elemen krusial dalam menjaga kualitas pemilu. Tanpa transparansi, kita berisiko menghadapi ketidakpercayaan publik terhadap hasil pemilu, yang pada gilirannya akan melemahkan sistem demokrasi itu sendiri”. Sementara itu, pengamat politik, Profesor Bambang Setiawan, menambahkan, “Penyelenggara pemilu harus memanfaatkan teknologi untuk memastikan bahwa proses pemilu benar-benar dapat diawasi oleh masyarakat. Pengawasan yang baik, ditambah dengan kemauan untuk menindak pelanggaran, akan memperkuat integritas pemilu dan demokrasi kita”. Dengan mengedepankan transparansi dan pengawasan yang ketat, kita bisa menciptakan pemilu yang adil dan dapat dipercaya oleh seluruh lapisan masyarakat.