Perang Rusia – Ukraina Semakin Panas, PB PMII : Indonesia Harus Lakukan Shuttle Diplomacy
Berita Baru, Jakarta – Konflik Rusia dan Ukraina di pinggiran Ibu Kota Kyiv kini terus meluas. Bahkan yang terbaru Citra satelit Maxar Technologies menunjukkan pinggiran barat laut dan utara Kyiv termasuk Kota Chernihiv dilaporkan mengalami kerusakan signifikan akibat pertempuran kedua kubu.
Tidak sedikit pengamat politik yang menilai bahwa sifat konflik Rusia dan Ukraina sangat cair dan berubah-ubah. Langkah Rusia maupun Barat, tak bisa diprediksi.
“Skenario dasar bagi Rusia dalam tiga bulan ke depan adalah bagaimana mendapatkan kontrol yang tidak merata atas Ukraina timur, hingga Sungai Dnipro” kata Eurasia Grup dalam bahasannya.
Melihat hal tersebut, Pengurus Besar pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB PMII) Bidang Hubungan Luar Negeri dan Jaringan Internasional membuat sebuah kajian untuk menganalisa konflik tersebut bersama beberapa tokoh, Rabu (9/3) siang.
Perwakilan dari PB PMII Bidang Hubungan Luar Negeri dan Jaringan Internasional Muh Afit Khomsani, menjelaskan bahwa konflik ini semakin kompleks dan tidak hanya soal kepentingan ekonomi.
“Konflik yang terjadi antara Rusia dan Ukraina bukan persoalan mudah, terdapat banyak faktor yang melatar belakangi konflik tersebut. Konflik ini harus dilihat secara holistik karena tidak hanya sebatas kepentingan ekonomi,” ujar Afit Khomsani, kepada Beritabaru.co Jateng.
Lebih dari Itu, menurut Afit konflik ini erat kaitannya soal kedaulatan dan kepentingan strategis antar negara.
“Kami tidak memihak kepada salah satu negara, namun apabila dilihat secara holistik, salah satu hal yang membuat Rusia marah yaitu rencana Ukraina bergabung dengan NATO. Ini tentu akan memberikan ancaman tersendiri kepada Rusia sebagai negara yang tidak tergabung dalam North Atlantic Treaty Organisation,” imbuh pria yang sedang menjalani program master di Universitas Indonesia tersebut.
Kami dari PB PMII Bidang Hubungan Luar Negeri dan Jaringan Internasional berharap bahwa momentum Indonesia menjadi presiden G20 ini dapat dimanfaatkan dengan baik.
“Semoga Presiden Jokowi memahami bahwa Indonesia dapat memiliki peran penting sebagai presiden G20 saat ini. Tentu beliau paham bahwa ada sebuah instrumen yang disebut Shuttle Diplomacy. Melalui instrument ini Indonesia dapat menjalin komunikasi dengan berbagai pihak untuk memberikan problem solving,” Imbuh Afit.
Pria alumni UIN Walisongo ini juga menjelaskan bahwa nantinya Indonesia dapat membawa hasil komunikasi dengan negara lain ke Majelis Umum PBB.
“Dengan standing position membela humanity, Indonesia dapat menjalankan Shuttle Diplomacy dan hasilnya dapat dibawa ke Majelis Umum PBB. Terlebih, dalam sejarahnya PBB pernah mengeluarkan resolusi yang bernama Uniting for Peace pada tahun 1950 saat perang di Semenanjung Korea terjadi,” pungkas Alumni UIN Walisongo tersebut.
Diketahui bahwa diskusi ini diselenggarakan secara online dan dihadiri langsung oleh Prof. Dr. Yuddy Crisnandi selaku Duta Besar Indonesia untuk Ukraina dan Ahmad Choirul Umam, Ph.D selaku Direktur Eksekutif Public Policy Institute of Paramadina.