Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Sebuah Gambaran Tentang Bahaya Kapitalisme
Penulis: Moh Y Salamun

Sebuah Gambaran Tentang Bahaya Kapitalisme



Pada saat terjadi revolusi politik di Prancis dan revolusi industri di Inggris pada akhir abad ke-17 dan awal 18, yang dikenal dengan era penemuan mesin uap dan pemintal benang, secara bersamaan membuahi pola penindasan  dengan teknologi baru masa itu –cikal-bakal kelahiran kapitalisme.

Namun, bilamana kita menggunakan kerangka filsafat meterial-historis ala Marx, sebenarnya pola tersebut sudah terjadi jauh sejak zaman berburu dan meramu, lalu telah sedemikian rupa ada keadaan dimana terjadi penindasan. Dari kedua fenomena sosial inilah yang kemudian melahirkan cara atau pola penindasan para pemilik modal (kapitalis). Dari pola berburuh melahirkan sifat serakah kapitalis, dan meramu atau tanam paksa membuahi pola akumulasi modal tanpa bekerja oleh kapitalis saat ini. Artinya  bahwa, penindasan yang dilakukan oleh kapitalis sebenarnya tidak secara ujuk-ujuk turun dari langit atau lahir dari ruang kosong begitu saja. tetapi, ada sejak dari awal sejarah peradaban umat manusia. Marx menyebutnya sebagai sejarah pertantangan kelas.

Dalam konteks ini, dikalangan kaum Marxsis masih ada perbedaan pendapat. Dalam kubu Marxis Ortodoks, misalnya, meyakini bahwa penindasan terjadi akibat dari perbedaan ekonomi yang dipunyai oleh kaum pemodal (borjuasi) dan kaum buruh (proletariat). Dimana kaum borjuasi memiliki ekonomi yang mempuni dan kaum proletariat yang kurang atau tidak punya sama sekali ekonomi yang mumpuni (determinasi ekonomi), sehingga kaum proleteriat hanya sebagai pengguna mesin produksi dan borjuasi yang memilikinya.

Sebaliknya, dari kubu Marxisme Humanis dan struktural yang dipolopori oleh Antonio Gramsci dan Luis Althuseer, lahir antitesa dan narasi pembanding melihat pandangan Marx. Althuser dan Gramsci mengamini bahwa melalui konstruksi secara struktural maupun kultural, kaum borjuasi menjadi yang berkuasa dan proleteriat sebagai kaum yang dikuasai, dengan kata lain, penyebab dari penindasan yang dialami saat ini ialah suprastruktur.

Pertentangan pemikiran dan interpretasi yang berbeda-beda ini harus dilihat sebagai satu dinamika yang wajar dalam wujud dari bentuk dialektika pengetahuan. Kedua postulat ini dapat juga sebagai rujukan. Tetapi, yang terlebih penting ialah melihat dan menggunakan kerangka pemikiran Marx dan Marxisme sebagai basis teoritik serta pisau analisis bukan sebagai basis ideologi yang nantinya terlihat candu, lalu pada akhirnya menjadi penyebab dalam melihat realitas menjadi seolah semu –seperti halnya Hegel, yang kemudian dikritik Marx dan mengatakan bahwa tugas filsuf bukan hanya sebatas peramal realitas tetapi turut merubahnya ke kondisi yang lebih baik. “berjalan menggunakan kepala” kira-kira itu bualan marx kepada gurunya Hegel.

Lantas, seperti apa kita yang sedang hidup dan mungkin secara tidak sadar menikmati atau termasuk sebagai obyek perampasan dan tumpah darah manusia yang menjadi kurban dari kejahatan dan kebiadapan elite global (kapitalis korporat) hari ini akan terus mendiami tatan kehidupan yang begitu kejam? bagaimana kita menggalang kekuatan agar dapat menerobos sistem berciri monster ini ?

Sebelum jauh menginisiasi atau mengusulkan salah satu variabel penting dalam perumusan gerakan melawan penindasan. Saya ingin terlebih dahulu menyudurkan fakta dari realitas yang saya tilik semenjak mengkontekskan pemikiran marx-marxisme di Indonesia.

Pertama-tama, melihat kondisi hari ini tak dapat dinafikan bahwa kehadiran industri telah berdampak pada tatan kehidupan yang semakin redup dari cahaya kebebasan manusia dan mahluk hidup pada umumnya. Bagaimana tidak, industrialisasi telah menggigit habis sumber daya manusia dan sumber daya alam secara berlebihan. Fakta ini dapat dilihat dari berbagai peristiwa yang dicacat sejarah, mulai dari perang dunia I sampai dengan fenomena covid-19 dan perang di Timur Tengah yang terjadi pada tatan dunia ketiga hari ini.

Efek domino idustrialisasi yang termanifes pada perang dunia I membuahi konstruksi dan dekonstruksi dalam kehidupan negara-negara dunia ketiga. Singkat kata, by design yang dilakukan kapitalis guna mengintregrasikan tatan dunia pada satu sistem yang disebut modern, dilatar belakangi oleh akumulasi kapital yang menjadi target utama.

Akhirnya, negara-negara dunia ketiga mengalami degradasi secara politik, ekonomi, sosio-budaya. Artinya bahwa dinegara-negara dunia ketiga sudah tidak sedikitpun memiliki kemandirian dalam mengupayakan tatan kehidupan yang egaliter, berkeadilan, serta domokratis sebagaimana yang digaung-gaungkan,

Penyandraan politik, ekonomi, dan sosio-budaya ini sudah sejak lama dilakukan oleh negara-negara adikuasa tempat para kapitalis menginap. pola-polanya yang dilakukan dapat dilihat dari upaya negara-negara maju yang dipergunakan untuk menghegomoni serta mengekspolitasi negara-negara berkembang atau yang baru akan berkembang saat ini. Termasuk Indonesia, yang telah dihabisi oleh kapitalis dengan rayuan bantuan berupa pinjaman uang, pembangkit listrik, jalan raya, dll. Nantinya, hal ini akan menjadi alat pencekik leher ibu pertiwi sehingga menjadi kesusahan nafas sebagaimana rakyat miskin kota yang bertempat tinggal dipinggiran kali yang kotor, buruh yang terjepit kepanasan uap mesin, hilangnya lahan buruh tani, perampasan tanah masyarakat adat, serta kemolekan tubuh perempuanyang menjadi brand di pasar bebas. Dengan begitu, ibu pertiwi mati tanpa dikubur. Sebab budaya gotong-royong telah sirna termakan boneka Maskot Ronald di Mc-Donald’s .

Bahaya kapitalisme ini menghantui kita setiap 24 jam kita hidup, kira-kira begitulah kejujuranyang ingin disampaikan oleh John Perkins mantan ekonomi hitman. Tak hanya itu, fenomena dibalik pendemi Covid-19 ini tidak harus dilihat sesederhana mungkin. Sebab wabah ini tidak semata-mata menenggalamkan manusia secara massal tetapi juga menghadirkan kepercayaan baru, sebab kegiatan-kegiatan religius dari kepercayaan yang terlebih dahulu ada, kini mulai dibatasi dengan alasan yang inheren, tetapi lulu-lalang produk kapitalis begitu liar berbalapan menuju pencapaian.

Begitu juga dengan fenomena perang dan aksi teroris yang mulai bermunculan, memberi stigma buruk pada agama tertentu sehingga hal itu menjadi fakta negara tersandra dan gagal melindungi kepercayaan warganya. Jika Friedrich Nietzsche melihat ini, ia akan bangkit dan mengatakan untuk kedua kalinya bahwa “Tuhan telah mati”.

Sekali lagi, melihat rumah boneka Maskot Ronald yang begitu menggelitik bagi penulis untuk kemudian mencontohkan bagaimana negara tersandra dari berbagai aspek, termasuk budaya Indonesia yang tergeser dari kehadiran rumah boneka Maskot Ronald ini, saya ingin sampaikan bahwa saya begitu sedih melihat kebahagian anak muda Indonesia yang mencicipi sepotong roti disana, sebab  makan patita (makan bersama orang maluku) hanya akan dikenang dalam cerita-cerita masa lalu, atau bahkan masakan seorang ibu yang dinantikan diruang makan bersama sudah tak lagi dihargai.

Bukan hanya itu, lompatan dari berbagai zaman mendekonstruksi pemuda di Indonesia menjadikan ia seperti orang bodoh dan tidak begitu mengerti. kehadiran Mc-Donald di Indonesia berujung menjadikannya tempat pengambilan gambar untuk meng-upload foto baru untuk media Instagram. Padahal, bila kita telisik di tempat asalnya, tempat makan ini adalah solusi bagi orang kota yang harus keluar pagi dan tidak sempat sarapan terlebih dahulu di rumah. dengan kata lain, sesuai dengan budaya gerak cepat atau pragmatisnya orang Amerika. Oleh karena itu, konsekuensi logisnya di Indonesia hanya akan berjamur budaya oral, budaya lompat katak.

Dengan begitu, mengetahui bahaya kapitalisme yang sedikit diurai diatas. Saya ingin mengajak kita semua generasi muda untuk bersikap “mawas” akan hal itu. Atau jika dapat menjadi Gramsci maka bersatulah untuk sama-sama mengcounter hegomoni ini dengan cara sebagai berikut; pertama sikap kita hanya satu yakni Revolusi, dan jika memungkinkan konsolidasi dan diskusi diadakan didepan mal-mal yang beradara diseantero Indonesia agar dari awal, aktivitas kapitalis akan terganggu. Kedua, kembalikan semangat serta merawat budaya nusantara. Dan yang Ketiga, momentum pemilu harus sedemikian dihindarkan, dengan kata lain, menarik diri untuk berpartisipasi dalam pemilihan baik tingkat nasional maupun lokal, lebih singkat lagi“Golput” kemudian menjemput kebajikan.

Penulis: Moh Y Salamun

Editor: Husein