Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Tragedi Kanjuruhan, Otoritas yang Abai dan Kekerasan Struktural

Tragedi Kanjuruhan, Otoritas yang Abai dan Kekerasan Struktural



BERITABARU, JAKARTA – Lingkar Akademia mengadakan Forum Kamisan guna merespon tragedi “Kekerasan Kemanusiaan” pada ajang sepakbola tanah air di Kanjuran, Malang, Jawa Timur dengan tema “Kanjuruhan yang Malang; WHY?” pada Kamis (06/10/2022) di Jalan Gareng Nomor 04, Johar Baru, Jakarta Pusat.

Yogi Apendi, Direktur Icconec yang juga Ketua PB PMII itu dalam pantikan diskusinya mengatakan, budaya kekerasan di Indonesia masih sangat kental termasuk di dunia sepakbola. Meninggalnya ratusan orang dalam Tragedi Kanjuruhan merupakan Tindakan Kekerasan yang harus diusut tuntas.

Menurut Yogi, akar dari Tragedi Kanjuruhan adalah budaya kekerasan yang melekat ditubuh pihak keamanan negara kita.

Yogi menggambarkan, para korban meninggal bukan karena penyakit bawaan seperti mereka yang terkena Covid-19, mereka adalah korban kekerasan oleh aparat kemanan serta lalainya otoritas sepakbola kita.

Sementara itu, Andreas Marbun Founder Panditfootball.com selaku narasumber utana menegaskan, harus ada yang tanggungjawab dari tragedi Kanjuruhan.

Bahkan, jelas Marbun, jangan pernah normalisasi kejadian seperti ini seakan adanya kematian di stadion pada pertandingan sepakbola adalah hal biasa. Ia juga mengaitkan dengan kejadian Bandung yang mengorbankan 2 orang berakhir tanpa ada yang bertanggungjawab satupun.

Marbun mengatakan, otoritas sepakbola seperti PSSI dan Jajaran PT. LIB mundur dulu, termasuk mungkin Menpora. Jangan dulu ngobrol aturan apalagi ngobrol perbaikan sepakbola kedepan, moral saja tidak punya.

Ia menjelaskan, tidak mungkin ada perbaikan sepakbola kedepan jika yang mengurus sepakbola saja adalah orang yang enggak (red, tidak) punya moral. Ratusan orang meninggal tidak ada yang bertanggungjawab atas kejadian itu.

Marbun berpandangan, secara teknis, semua kejadian bisa dicegah. Itulah tugas PSSI, PT. LIB dan Panpel.

“Sudah terlalu banyak referensi untuk dipelajari dan diterapkan. Tidak butuh ratusan orang mati hanya untuk belajar mengurus sepakbola,” pungkas Marbun.