Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

UU ITE dan Semangat Perdamaian Hidup
Penulis, Kirwan Ketua DEMA Fakultas Ushuduluddin dan Pemikiran Islam, Photo: Kirwan

UU ITE dan Semangat Perdamaian Hidup



Di tengah derasnya arus informasi berita bohong (hoaks), provokasi, dan ujaran kebencian yang tak bisa dibendung di dunia maya, menjadi alasan penting pemerintah mengambil-alih kendali menertiban masyarakat dalam bermedia. Kemudian bentuk respon pemerintah adalah hadirnya peraturan Pengelolaan Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) secara merata. Hal itu diharapkan untuk merajut masyarakat supaya lebih kondusif, sadar, dan bertanggungjawab atas apa yang dilakukan dalam bermedia.

Hadirnya UU ITE tidak serta merta untuk membungkam suara  masyarakat dalam berekspresi. Juga tidak melulu tentang kepentingan politik pemerintah supaya lebih leluasa dalam melakukan apapun dan terbebas dari ancaman dan pendapat masyarakat. lebih dari itu, ada semangat yang dibangun dengan munculnya UU ITE ini, yaitu menjadikan dunia maya yang sehat, rukun dan beradab serta terbebas dari kebencian, provokasi, fitnah yang justru akan memperkeruh tatanan sosial masyarakat.

Hal ini yang seharusnya disadari bersama-sama oleh mereka yang berpandangan bahwa UU ITE ini merupakan musibah bagi demokrasi. Karena akan lebih berbahaya lagi jika kemudian para pengguna media dengan leluasa menyebarkan berita-berita yang invalid, provokasi, dan dengan leluasa menghujat atau mencemarkan nama baik lembaga atau perorangan dengan cara mencaci maki di media sosial, dan media lainnya.

Persoalan perbedaan pendapat tentu kita setuju bahwa dalam berdemokrasi kritik dalam arti kritis yang membangun itu merupakan vitamin demokrasi, Gus-Dur. Sebagai warga negara Indonesia tentu kita harus menyadarinya, juga sadar bagaimana sesungguhnya dalam berdemokrasi, yang kemudian berimplikasi pada kerukunan dan terciptanya perdamaian.

Dalam tulisan ini saya tidak akan terlalu mendalam masuk pada persoalan UU ITE nya. tetapi, pada semangat permadamaian  yang harus kita wujudkan dalam hidup bernegara, bermasyarakat juga sebagai bentuk implimentasi berdemokrasi yang beradab.

Semangat Perdamaian

Semangat perdamaian sejatinya telah digaungkan oleh para filsuf-filsuf terkemuka sejak awal abad ke-20 yang pada saat itu merupakan puncak dari perkembangan filsafat di Eropa maupun di Amerika.

Eric Weil (1904-1977) salah seorang filsuf Jerman, dan di sebut-sebut sebagai filsuf kecil tapi mampu membawa semangat luar biasa dan bermanfaat untuk semua. Weil mengatakan bahwa tanggungjawab sosial merupakan pra-syarat yang penting untuk membangun kehidupan bersama yang damai. (Mulyatno,2017.32) dalam hal ini, semangat yang dibangun adalah bagaimana seluruh lapisan masyarakat mampu bersikap bijak tentang apapun itu.

Sejatinya filsafat hadir untuk membentuk tatanan masyarakat yang damai dengan membantu menemukan arah hidup dan kehidupannya yang bijak. Dengan akal budi, manusia mampu berpikir jernih, dan berpikir jangka panjang demi kesejaheraan bersama. Tidak hanya tatanan berkehidupan di dunia nyata, lebih-lebih dalam kehidupan dunia maya.

Spirit Perjuangan para Founding Father sejatinya adalah perjuangan untuk maslahah bersama, tidak hanya kepentingan satu golongan atau kelompok tertentu saja. benar ada kendala dan berbagai tantangan dalam menyuarakan perdamaian. Tetapi, saya katakan bahwa itulah kehidupan yang harus  terus menerus dijalankan. Dalam berbangsa dan bernegara, tidak ada sikap lelah dalam berjuang, semuanya pasti ada hikmahnya.

Dasar negara pancasila, dibangun atas kesadaran semangat perdamaian yang kemudian bisa mengayomi semua golongan. Tidakkah kita mau belajar lebih dari dasar negara kita?. Negara Indonesia yang dibangun oleh mereka yang berpikir luar biasa dan bisa melindungi sesama, semangat yang dibangun adalah atas kemaslahatan bersama.

Juga penting kita sadari bersama bahwa dalam hidup bernegara mesti ada aturan-aturan yang ditujukan untuk kemaslahatan, dan penuh tanggung-jawab. UU ITE salah satu contohnya. Bahwa terdapat sebagian kecil kekeliruan didalamnya, harus kita maklumi bersama dengan tetap mengawalnya agar kekeliuran itu tidak menjadi mudarat.

Tetapi yang lebih penting bahwa UU ITE itu dibuat untuk kemaslahatan bersama, demi terciptanya kehidupan maya yang kondusif, dan beradab, terhindar dari kebencian yang akan memecah-belah bangsa dan tatanan sosial. Dengan demikian sejatinya patut dipertanyakan seberapa besar kita bisa menerima perbedaan, bertanggung jawab atas kehidupan di dunia nyata dan maya? Apakah pendekatan dengan regulasi struktural seperti UU ITE yang menghambat kebebasan berekspresi?, jangan-jangan secara kultural kita yang masih tidak bisa menerima perbedaan?. Na’uzubillah