Grand Design Jokowi: Antara Ambisi Keluarga dan Masa Depan Demokrasi Indonesia
Oleh : Bung Kafi
Penulis Alumni Mahasiswa Filsafat UIN Sunan Kalijaga, Aktivis NU, dan Juga Kader Partai PDI Perjuangan.
Dalam panggung politik Indonesia, strategi kerap kali melampaui etika. Manuver elite politik tidak hanya melibatkan penguasaan struktur formal, tetapi juga penggunaan figur tertentu untuk kepentingan sementara. Salah satu tokoh yang kini berada di pusaran kontroversi politik adalah Ahmad Luthfi, mantan Kapolda Jawa Tengah. Banyak pengamat menilai bahwa Luthfi hanyalah “keset politik” dalam grand design Mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi), sebuah strategi besar untuk mempertahankan pengaruh hingga Pemilu 2029 dan mengantarkan Gibran Rakabuming Raka ke kursi kepresidenan.
Ahmad Luthfi dikenal sebagai tokoh yang memiliki pengaruh besar di Jawa Tengah selama masa jabatannya. Namun, dalam kancah politik, perannya dianggap hanya bersifat temporer dan instrumental. Burhanuddin Muhtadi, pengamat politik terkemuka, menilai bahwa Luthfi diposisikan untuk memainkan peran spesifik, memastikan konsolidasi kekuatan Jokowi di Jawa Tengah, yang selama ini menjadi basis elektoralnya. “Ahmad Luthfi hanyalah alat sementara. Ketika fungsinya selesai, ia tidak akan lagi berada di lingkaran kekuasaan,” ungkap Rocky Gerung. Pernyataan ini menegaskan pola “Habis Manis, Pahit Dibuang” yang sering terjadi dalam politik transaksional di Indonesia. Luthfi, meskipun memiliki reputasi cemerlang di bidang kepolisian, kini dipandang sebagai korban politik pragmatis Jokowi.
Ahmad Luthfi: Kaki Politik Jokowi?
Banyak pengamat yang menilai bahwa Ahmad Luthfi hanya berfungsi sebagai “keset politik” bagi Mantan Presiden Jokowi, sebuah istilah yang merujuk pada peran yang terbatas dan dimanfaatkan hanya untuk kepentingan jangka pendek. Salah satu alasan utama di balik penilaian ini adalah peran Luthfi yang lebih banyak terfokus pada konsolidasi politik di Jawa Tengah, tanpa kesempatan untuk mengembangkan karier politik yang lebih luas atau mandiri. Seperti yang diungkapkan oleh Hendri Satrio, seorang pengamat politik, politik Jokowi sering kali mengandalkan loyalitas individu sebagai alat politik sementara, bukan untuk membangun hubungan yang lebih strategis dan berkelanjutan. Luthfi, dalam hal ini, tampaknya hanya digunakan untuk memenuhi tujuan politik jangka pendek tanpa diberi peluang untuk mengukir prestasi atau posisi yang lebih tinggi dalam struktur nasional.
Selain itu, hubungan antara Luthfi dan Jokowi juga dilihat sebagai hubungan yang bersifat transaksional. Dukungan yang diberikan oleh Luthfi lebih cenderung berdasarkan manfaat sesaat, bukan atas dasar komitmen atau penghargaan terhadap kontribusi politik yang lebih mendalam. Ujang Komarudin, seorang ahli politik dari Universitas Al-Azhar, menekankan bahwa dalam politik pragmatis seperti yang dijalankan oleh Jokowi, loyalitas sering kali dianggap sebagai komoditas yang bisa digunakan dan dibuang sesuai kebutuhan. Luthfi, yang hanya diberi peran terbatas di tingkat lokal, tidak diberi kesempatan untuk berkembang menjadi figur politik yang lebih besar di tingkat nasional. Hal ini mencerminkan pola hubungan politik yang lebih fokus pada hasil instan, yang cenderung mengabaikan pembangunan hubungan jangka panjang yang lebih berkelanjutan.
Pola politik Jokowi yang pragmatis dan fleksibel juga memperkuat pandangan bahwa Luthfi hanyalah bagian dari strategi jangka pendek yang tidak didedikasikan untuk pembangunan karier politik yang lebih substansial. Sebagaimana dijelaskan oleh Dodi Rinaldi, seorang pengamat politik, Jokowi dikenal cepat dalam meninggalkan figur politik yang sudah tidak relevan atau tidak lagi dapat memberikan dukungan yang diinginkan. Luthfi, dalam hal ini, terperangkap dalam pola politik yang lebih menekankan efisiensi dan pencapaian tujuan dalam waktu singkat, tanpa memberi ruang bagi figur-figur politik untuk bertumbuh atau memperluas pengaruh mereka. Dengan demikian, meskipun Luthfi memiliki loyalitas terhadap Jokowi, ia tidak diberikan kesempatan untuk membangun karier politik yang independen dan berkelanjutan, yang memperkuat anggapan bahwa ia hanya digunakan sebagai “keset politik” dalam kerangka strategi politik pragmatis Jokowi.
Grand Design Jokowi: Penguasa Tanpa Kursi
Jokowi, yang akan mengakhiri masa jabatannya pada 2024, tampaknya menerapkan strategi penguasa tanpa kursi. Dalam teori politik, strategi ini digunakan oleh pemimpin untuk tetap mengendalikan kekuasaan meskipun secara formal tidak lagi menjabat. Dalam hal ini, Jokowi mempersiapkan Gibran Rakabuming Raka sebagai penerus politiknya, dengan membangun jaringan kekuatan melalui figur-figur seperti Ahmad Luthfi. Denny Indrayana, ahli hukum tata negara, menyebut langkah Jokowi ini sebagai bagian dari Power Continuity Theory, di mana penguasa menciptakan proksi untuk memastikan keberlanjutan pengaruhnya. “Jokowi berusaha menjaga kendali politik melalui keluarga dan jaringan loyalis. Ahmad Luthfi adalah salah satu alat untuk mewujudkan agenda itu, khususnya di Jawa Tengah.
Relasi Jokowi dengan Presiden Prabowo dan Koalisi KIM, Dukungan Jokowi kepada Prabowo Subianto dan Koalisi Indonesia Maju (KIM) juga menuai banyak pertanyaan. Di satu sisi, Jokowi terlihat mendukung penuh Prabowo sebagai presiden. Namun, para pengamat politik mencurigai adanya agenda tersembunyi. Rizal Ramli menilai bahwa dukungan ini lebih merupakan strategi untuk melanggengkan agenda Jokowi, termasuk mempersiapkan jalur politik bagi Gibran. “Koalisi KIM harus berhati-hati. Jika mereka hanya tegak lurus pada Jokowi, mereka tidak lebih dari boneka dalam permainan politiknya,” tegas Refly Harun. Dalam skenario ini, Prabowo berisiko kehilangan otoritas jika KIM lebih mengutamakan kepentingan Jokowi daripada bangsa.
Pertanyaan besar yang kini dihadapi oleh Koalisi Indonesia Maju adalah, apakah mereka akan tegak lurus pada kepentingan bangsa atau tunduk pada syahwat politik Jokowi? Jika mereka memilih untuk tunduk pada Jokowi, maka KIM tidak lebih dari alat untuk melanggengkan agenda politik pribadi Jokowi, termasuk mengantarkan Gibran ke puncak kekuasaan. Refly Harun menegaskan bahwa koalisi harus berdiri tegak untuk kepentingan rakyat. “Politik tidak boleh hanya menjadi permainan segelintir elite. Koalisi KIM harus berani mengambil sikap independen”.
KIM Plus: Pilihan Tegas Antara Kepentingan Bangsa atau Jokowi
Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus kini berada di persimpangan krusial, terus melayani agenda politik Presiden Joko Widodo (Jokowi) atau berdiri tegak untuk kepentingan bangsa di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto. Menurut Refly Harun, loyalitas buta kepada Jokowi, terutama jika hanya untuk mendukung ambisi politik keluarganya seperti mengantarkan Gibran Rakabuming Raka menuju kursi kekuasaan, akan merusak legitimasi koalisi di mata publik. Sebaliknya, orientasi pada agenda nasional yang berfokus pada rakyat akan memperkuat posisi KIM Plus sebagai kekuatan politik independen dan terpercaya.
Prabowo Subianto, sebagai presiden terpilih, memiliki peluang besar untuk memimpin koalisi ini keluar dari bayang-bayang Jokowi. Dengan mandat langsung dari rakyat, Prabowo bisa mereformasi arah koalisi agar lebih sesuai dengan visi nasional yang inklusif dan berorientasi pada perubahan nyata. Denny Indrayana menekankan bahwa Prabowo adalah sosok pemimpin yang dikenal tegas dan tidak mudah didikte, sehingga berpotensi membawa KIM Plus menjadi kendaraan politik yang benar-benar bekerja untuk kepentingan bangsa, bukan sekadar memperpanjang pengaruh Jokowi.
Keputusan KIM Plus untuk menegaskan posisi independen juga relevan dalam menjaga hubungan dengan konstituen mereka. Burhanuddin Muhtadi mengingatkan bahwa partai-partai dalam koalisi memiliki kepentingan elektoral jangka panjang yang tidak boleh dikorbankan demi kepentingan elite tertentu. Jika KIM Plus terus tunduk pada Jokowi tanpa pertimbangan strategis, risiko kehilangan kepercayaan publik semakin besar. Sebaliknya, memilih jalan yang tegak lurus pada kepentingan nasional akan menjadi langkah penting untuk menjaga relevansi politik mereka di masa depan.
Koalisi Indonesia Maju dihadapkan pada ujian integritas: menjadi kekuatan politik yang teguh pada prinsip untuk melayani rakyat atau hanya menjadi alat bagi elite politik tertentu. Keputusan mereka tidak hanya menentukan arah politik koalisi, tetapi juga mencerminkan komitmen mereka terhadap demokrasi dan masa depan Indonesia. Jika politik hanya berputar pada kepentingan pribadi dan keluarga, maka demokrasi Indonesia berisiko terjebak dalam permainan kekuasaan tanpa akhir. Saatnya semua pihak, termasuk koalisi, elite, dan masyarakat, untuk kembali menegakkan prinsip dasar: bahwa kekuasaan adalah untuk melayani rakyat, bukan untuk melayani ambisi pribadi. Jika tidak, Indonesia hanya akan menjadi panggung bagi para pemain politik yang lupa pada tujuan besar bangsa.
Ahmad Luthfi hanyalah satu dari sekian banyak figur yang menjadi korban pragmatisme politik Jokowi. Perannya dalam konsolidasi kekuatan di Jawa Tengah, meskipun penting, hanya bersifat sementara. Sementara itu, grand design Jokowi untuk mempertahankan pengaruhnya hingga Pemilu 2029 menempatkan banyak pihak, termasuk KIM dan Presiden Prabowo, dalam dilema besar. Jika politik Indonesia terus dipenuhi dengan ambisi pribadi, masa depan demokrasi akan semakin terancam. Keputusan tegas untuk menegakkan kepentingan rakyat harus menjadi landasan politik Indonesia yang lebih sehat dan berkelanjutan.