Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Menggugah Masyarakat Indonesia dari Jebakan Konsumerisme: Perspektif Herbert Marcuse Tentang Manusia Satu Dimensi
(Shohibul kafi Atau Bung Kafi) Kader Partai PDI Perjuangan

Menggugah Masyarakat Indonesia dari Jebakan Konsumerisme: Perspektif Herbert Marcuse Tentang Manusia Satu Dimensi



(Bung Kafi)

(Alumni Mahasiswa Filsafat UIN Sunan Kalijaga, Aktivis NU, dan Juga Kader Partai PDI Perjuangan)

Di tengah kehidupan masyarakat Indonesia yang terus berkembang pesat, kita dihadapkan pada sebuah pertanyaan mendalam: Apakah kita, sebagai individu, masih mampu mempertahankan pemikiran kritis dan meraih kebebasan dalam dunia yang semakin homogen? Di sinilah teori Herbert Marcuse, seorang filsuf yang sangat berpengaruh dalam aliran Frankfurt School, datang untuk memberikan kita wawasan yang menggugah. Dalam karya terkenalnya, One-Dimensional Man (1964), Marcuse menggambarkan bagaimana masyarakat modern, terperangkap dalam sistem kapitalis dan teknologi, telah melahirkan individu yang kehilangan kemampuan untuk berpikir kritis. Individu semacam ini, menurut Marcuse, menjadi “manusia satu dimensi” yang secara tidak sadar tunduk pada norma-norma dan kebutuhan yang diciptakan oleh sistem dominan.

Melalui lensa teori ini, kita dapat membaca dengan lebih tajam kondisi masyarakat Indonesia saat ini. Sebuah masyarakat yang berkembang pesat dalam arus kapitalisme global dan kemajuan teknologi, namun di saat yang sama menghadapi tantangan besar dalam mempertahankan kesadaran kritis. Dalam esai ini, kita akan menggali bagaimana kecenderungan konsumerisme, ketergantungan pada teknologi, rendahnya kesadaran kritis, dan partisipasi politik yang dangkal menjadi ciri khas dari “Manusia Satu Dimensi” di Indonesia. Namun, kita juga akan menemukan harapan yang dapat membebaskan masyarakat dari jeratan ketergantungan tersebut.

Konsumerisme dan Kebutuhan Palsu: Melawan Logika Kapitalisme

Marcuse mengemukakan bahwa kapitalisme modern menciptakan “Kebutuhan Palsu” yang memanipulasi keinginan individu. Kebutuhan-kebutuhan ini tidak berasal dari kebutuhan dasar manusia, tetapi diciptakan oleh industri dan media untuk mempertahankan sistem ekonomi yang ada. Di Indonesia, fenomena ini sangat jelas terlihat dalam pola konsumsi masyarakat. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa pada 2023, pengeluaran konsumsi rumah tangga tumbuh sebesar 5,04%, dengan kontribusi besar berasal dari sektor gaya hidup seperti hiburan, fesyen, dan belanja daring.

Lihatlah bagaimana masyarakat kita semakin terjebak dalam siklus konsumsi yang tidak ada habisnya. Gadget terbaru, pakaian merek ternama, atau bahkan tren makanan yang viral, menjadi simbol status yang harus dimiliki oleh setiap individu. Media sosial memegang peranan besar dalam menciptakan standar-standar baru ini, mempengaruhi cara kita berpikir dan bertindak. Seiring dengan pesatnya penggunaan platform seperti Instagram dan TikTok, hampir 80% masyarakat Indonesia terjebak dalam ilusi kebutuhan yang diciptakan oleh media. Kebutuhan yang sebenarnya tidak esensial, namun terasa sangat mendesak.

Inilah yang disebut Marcuse sebagai dominasi sistem kapitalis yang menciptakan kebutuhan palsu yang menyesatkan. Dalam masyarakat seperti ini, individu mulai kehilangan kapasitas untuk membedakan antara kebutuhan yang sesungguhnya dan keinginan yang hanya dimotivasi oleh pasar. Mereka terjebak dalam rutinitas konsumerisme yang seragam, tanpa pernah bertanya apakah apa yang mereka konsumsi benar-benar memberi mereka kebahagiaan atau sekadar ilusi.

Teknologi Sebagai Alat Penyeragaman: Menyongsong Era Digital

Selain konsumerisme, teknologi adalah alat lain yang digunakan oleh sistem untuk menciptakan “Manusia Satu Dimensi” Marcuse menekankan bahwa teknologi dalam masyarakat kapitalis bukanlah alat untuk memerdekakan manusia, melainkan untuk mempertahankan kekuasaan sistem yang ada. Di Indonesia, perkembangan teknologi digital yang pesat turut memperburuk keadaan ini. Menurut BPS, sekitar 78% masyarakat Indonesia menggunakan internet secara aktif, dan 94% di antaranya mengakses media sosial.

Namun, teknologi tidak selalu memberi kebebasan pada penggunanya. Platform media sosial seperti Instagram, TikTok, dan Twitter cenderung memperkuat keseragaman pandangan dan mempersempit ruang diskursus. Algoritma yang digunakan oleh platform ini sering kali hanya memunculkan konten yang sesuai dengan preferensi pengguna, menciptakan apa yang disebut dengan “ruang gema” atau echo chamber. Hal ini membatasi pandangan individu dan mengurangi kemampuan mereka untuk berpikir kritis atau melihat alternatif lain dari dunia yang ditawarkan oleh media sosial.

Sekitar 60-70% masyarakat Indonesia, yang mayoritas terpapar media sosial, cenderung mengikuti arus informasi tanpa pernah benar-benar mengkritisi atau mempertanyakan apa yang mereka terima. Mereka menerima begitu saja informasi yang disuguhkan, tanpa ada keinginan untuk menggali lebih dalam atau mencari perspektif yang berbeda. Akibatnya, masyarakat menjadi homogen dan terjebak dalam logika sistem kapitalis yang dibungkus dalam paket digital yang menggoda.

Pendidikan dan Kesadaran Kritis: Membangun Kemampuan Berpikir Bebas

Marcuse percaya bahwa pendidikan adalah salah satu sarana penting untuk membebaskan manusia dari dominasi sistem kapitalis. Namun, di Indonesia, sistem pendidikan yang ada cenderung lebih fokus pada pembelajaran yang bersifat teknis dan hafalan, bukan pengembangan daya kritis dan kesadaran sosial. BPS melaporkan bahwa 24,04% penduduk Indonesia berusia 15 tahun ke atas hanya berpendidikan SD atau lebih rendah, sementara hanya 10% yang mencapai pendidikan tinggi.

Pendidikan yang lebih menekankan pada nilai-nilai Utilitarian dan teknis menyebabkan masyarakat lebih siap untuk memasuki pasar tenaga kerja tanpa pernah mengembangkan kemampuan untuk berpikir kritis atau bertanya mengenai struktur sosial yang ada. Hal ini berdampak pada sekitar 50-60% masyarakat Indonesia yang cenderung menerima segala sesuatunya begitu saja, tanpa mempertanyakan dasar-dasar kebijakan sosial, politik, atau ekonomi yang mereka jalani.

Di sini, kita melihat bagaimana sistem pendidikan yang ada berperan dalam menciptakan manusia satu dimensi. Mereka tidak dibekali dengan kemampuan untuk menggugat, berinovasi, atau membayangkan dunia yang lebih baik. Pendidikan yang transformatif, yang seharusnya membuka cakrawala berpikir, justru sering kali menjadi instrumen untuk mempertahankan Status Quo.

Partisipasi Politik yang Dangkal: Menghadapi Pilihan yang Terbatas

Salah satu aspek penting dalam teori Marcuse adalah dominasi ideologi yang membatasi kebebasan individu untuk membayangkan alternatif yang lebih baik. Dalam konteks politik Indonesia, fenomena ini dapat dilihat pada partisipasi politik masyarakat. Berdasarkan survei BPS 2022, sekitar 82% masyarakat Indonesia berpartisipasi dalam Pemilu, namun pilihan mereka sering kali dipengaruhi oleh popularitas kandidat atau janji populis, bukan berdasarkan pada analisis mendalam tentang kebijakan dan visi calon pemimpin.

Fenomena ini menunjukkan bagaimana masyarakat Indonesia menjadi terjebak dalam permainan politik yang dangkal. Mereka memilih pemimpin bukan berdasarkan kebijakan yang benar-benar mendalam dan pro-rakyat, melainkan karena citra yang dibangun melalui media atau janji-janji kosong. Akibatnya, sistem politik yang ada tidak pernah digugat, karena masyarakat merasa bahwa itu adalah satu-satunya pilihan yang ada.

Harapan untuk Membangun Masyarakat yang Lebih Kritis dan Berkeadilan

Meski kondisi ini tampak pesimis, Marcuse tetap menawarkan harapan melalui potensi Transendensi, kemampuan untuk melampaui sistem yang ada melalui kesadaran kritis. Untuk itu, kita harus mulai berpikir dan bertindak lebih dari sekadar menjadi konsumen dan pengguna teknologi. Kita perlu menggali lebih dalam, bertanya, dan menciptakan alternatif. Langkah pertama adalah mengubah sistem pendidikan kita menjadi lebih kritis dan transformatif, yang tidak hanya mengajarkan keterampilan teknis, tetapi juga kemampuan untuk berpikir secara mendalam tentang kondisi sosial dan politik kita. Selain itu, kita perlu memperkuat identitas lokal dan melawan homogenisasi budaya global yang dibawa oleh kapitalisme dan media sosial.

Selanjutnya, kita harus membangun kesadaran kritis yang lebih tinggi terhadap teknologi dan informasi yang kita terima. Masyarakat Indonesia perlu dilatih untuk tidak hanya menjadi konsumen teknologi, tetapi juga pemikir yang kritis terhadap informasi yang disebarkan melalui media sosial. Akhirnya, kita harus melibatkan diri dalam gerakan sosial dan politik yang tidak hanya berfokus pada pilihan yang ada, tetapi yang benar-benar memperjuangkan perubahan struktural dan sosial yang adil. Melalui langkah-langkah ini, kita dapat bergerak menuju Indonesia yang lebih kritis, lebih inklusif, dan lebih adil.

Dengan menggali lebih dalam pemikiran Marcuse, kita dapat melihat bahwa kondisi masyarakat Indonesia saat ini memang berada dalam ancaman “Manusia Satu Dimensi” Namun, bukan berarti tidak ada jalan keluar. Dengan kesadaran yang lebih tinggi, pendidikan yang lebih transformatif, dan partisipasi aktif dalam perubahan sosial, kita dapat keluar dari jebakan ini dan menciptakan masyarakat yang lebih manusiawi dan berkeadilan. Mari kita bergerak bersama menuju Indonesia yang lebih berdaya pikir dan bebas dari belenggu sistem yang mengekang.