Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Benarkah Kemerdekaan Hak Segala Bangsa? Refleksi Makna Kemerdekaan Bagi Kaum Perempuan

Benarkah Kemerdekaan Hak Segala Bangsa? Refleksi Makna Kemerdekaan Bagi Kaum Perempuan



Oleh : Katamso H.S

BERITABARU, OPINI – “Bahwa Sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa, oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan pri kemanusiaan dan pri keadilan”. Kira-kira begitulah bunyi preambul UUD 1945 alinea pertama. Bagi bangsa Indonesia jelas kemerdekaan memiliki makna yang mendalam, dicapainya kemerdekaan adalah muara dari lamanya perjuangan bangsa Indonesia melawan tirani penjajahan dan menjadi titik balik dari kebangkitan rakyat yang telah lama diidam-idamkan.

Seringkali disetiap momentum kemerdekaan kita merefleksikan kembali makna dari nilai-nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika yang telah mengikat dan mempersatukan kita dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara. Kemerdekaan memberi kesempatan bagi seluruh masyarakat akan arti sebuah kebebasan. Bebas untuk menentukan nasib tanpa campur tangan, kontrol ataupun dominasi bangsa lain. Sehinga memaknai kemerdekaan tidak hanya membuat kita larut terlalu dalam pada euphoria dan heroisme masa lalu.

Merdeka justru memberi tantangan kepada masyarakat untuk bertanggung jawab melestarikan nilai-nilai perjuangan yang universal dan hakiki, sehingga spirit perjuangan harus tetap ada dalam sendi-sendi kehidupan. Merdeka juga memberi kesempatan yang sama bagi seluruh warga negara Indonesia untuk menikmati hak dan menjalankan kewajibannya. Lalu apa yang harus kita perjuangkan untuk mencapai hakikat dari cita-cita kemerdekaan? apakah cukup dengan sekedar mengikuti upacara bendera, berdoa dan berterimakasih kepada para pahlawan yang telah memperjuangkan kemerdekaan?. Percaya atau tidak seremonial ini hanya kita lakukan saat perayaan hari kemerdekaan, setelahnya pun kita lupa.

Kita harus sadar bahwa cita-cita kemerdekaan tidak selesai setelah bangsa kita mampu mengusir penjajah dan terbebas dari penjajahan. Lebih dari itu tugas kita hari ini adalah mewujudkan cita-cita kemerdekaan secara konsekuen, membangun bangsa ini dengan kekuatan persatuan, penguatan ekonomi pada masyarakat, pemerataan pendidikan, kemudahan akses kesehatan dan penegakan hukum. Kita juga tidak boleh abai akan isu-isu social yang terus bergulir di masyarakat seperti konflik agraria, sengketa kepemilikan lahan antara masyarakat dengan pemerintah atau koorporasi, mafia-mafia hukum dan mafia pemerintahan, juga kasus pelecehan dan kekerasan seksual.

Bagi penulis kemerdekaan hanya akan menjadi ilusi dan seremonial belaka jika masih ada komponen masyarakat yang merasa tidak aman, atau bahkan tidak memiliki ruang aman. Sebagai contoh adalah kasus kekerasan dan pelecehan seksual menurut data dari Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) dari tahun 2019 terjadi peningkatan jumlah kasus tentang kekerasan terhadap perempuan dan anak hingga 2021.

Bila di perinci lagi terjadi kasus kekerasan terhadap anak pada tahun 2019 sebanyak 11.057 kasus dengan jumlah korban 12.285, pada tahun 2020 terjadi 11.278 kasus dengan jumlah korban 12.425, sedang pada tahun 2021 terjadi 14.517 kasus dengan jumlah korban 14.517. Angka-angka tersebut adalah jumlah kasus dan jumlah korban yang tidak luputdari pengawasan Kemen PPPA.
Sedangkan angka kekerasan terhadap perempuan juga mengalami peningkatan dari tahun 2019 sampai dengan 2021. Dengan jumlah kasus 8.864 pada tahun 2019 dengan jumlah korban 8.947, pada tahun 2020 mengalami sedikit penurunan dengan 8.686 kasus dengan jumlah korban 8.763, sedangkan pada tahun 2021 terdapat 10.247 kasus dengan jumlah korban 10.368.

Jika laporan kekerasan terhadap anak dibedakan berdasarkan jenis tindak kekerasan yang dialami sebagai berikut 45% adalah kekerasan seksual, 19% adalah kekerasan psikis dan 18% adalah kekerasan fisik. Sedangkan jika lapporan kekerasan terhadap perempuan dibedakan berdasarkan jenis tindak kekerasan yang di alami sebagai berikut 39% adalah kekerasan fisik, 30% adalah kekerasan psikis, 12% adalah kekerasan seksual.

Dari rangkaian angka-angka diatas jelas membuat kita miris, dan patut untuk kita tanyakan kembali benarkah kita telah merdeka seutuhnya?. Sedang tinginya angka kekerasan yang terjadi pada anak dan perempuan. Seperti sebuah tamparan bagi kita bahwa masih terdapat ruang diskriminasi yang terjadi pada masyarakat. Padahal kemerdekaan bangsa ini tidak luput dari jasa dan peran para perempuan. Namun pada kenyataanya kita masih sulit untuk manciptakan ruang aman bagi kaum perempuan.

Membahas efek dari kasus kekerasan dan pelecehan seksual terhadap perempuan adalah sebuah lingkaran setan. Karena korban kekerasan dan pelecehan seksual rentan mengalami penderitaan dan kesengsaraan hidup secara fisik, psikis, dan kerugian secara ekonomi, sosial, budaya. Dampaknya adalah korban menerima stigma buruk dari masyarakat yang menyebabkan korban menarik diri dari lingkungan sosial, sulit membangun relasi, dan merasa tidak aman dimanapun korban berada.

Masyarakat kita yang masih terbelenggu pada sistem dan budaya patriarki kerap kali menormalisasi tindak kekerasan atau pelecehan seksual dengan menariknya pada alasan sebab dan akibat, seperti terjadinya kekerasan atau pelecehan seksual terhadap seorang wanita karena cara berpakaiannya yang memancing yang berakibat menarik respon lawan jenis hingga berbuat tindak kekerasan atau pelecehan seksual.
Argument semacam ini tidak bisa kita terima begitu saja, masyarakat secara moral berperan sebagai support community yang memberikan rasa aman, ruang aman serta perlindungan pada korban dengan memberi pengawalan hingga instrument hukum yang memberikan payung perlindungan pada korban untuk mendapatkan keadilannya. Bukan kemudian malah menjadi hakim yang menjatuhkan dakwa pada korban yang mana semakin membuat korban menderita, tak berdaya dan merasa kehilangan rasa aman.

Stigmatisasi bahwa perempuan adalah masyarakat kelas social nomor dua menjadi penghambat terbukanya ruang kesetaraan dan kesempatan yang sama dimuka publik. kurangnya keterlibatan peran perempuan dalam penentuan kebijakan publik juga menjadi kendala terwujudnya kesetaraan peran antara laki-laki dan perempuan. Solsinya adalah memberi ruang dan kesempatan yang sama bagi perempuan untuk menunjukkan kapasitasnya, sehingga muncul kepercayaan yang dapat menggeser stigma bahwa perempuan adalah masyarakat kelas social nomor dua.

Sudah saatnya perempuan lebih massif bergerak dengan membuktikan kapasitas dan kapabilitasnya dalam masyarakat tetapi didukung juga dengan jaminan rasa aman melalui instrument penegakan hukum yang benar-benar mampu menjamin rasa aman pada permpuan. Dengan demikian perempuan menjadi lebih fokus pada perannya, yang pada akhirnya mampu menepis stigma negative yang selama ini terkonstruk pada masyarakat dengan pembangunan sumber daya manusia yang memadahi. Sehinga dizaman modern seperti saat ini tidak lagi kita temukan kasus penindasan, pembatasan peran hingga upaya dominasi terhadap perempuan.

Penulis merupakan Penikmat sebat dan kopi hitam, saat ini menjadi takmir sanggar RA Eco, dan pegiat komunitas Dandang Gula (Gegadhang Gujeg Laku Sing Kuasa)