Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Pengkhianatan Politik Jokowi: Ambisi Kekuasaan dan Ancaman Bagi Demokrasi Indonesia
(Shohibul kafi Atau Bung Kafi) Kader Partai PDI Perjuangan

Pengkhianatan Politik Jokowi: Ambisi Kekuasaan dan Ancaman Bagi Demokrasi Indonesia



(Oleh Bung Kafi)

(Penulis Alumni Mahasiswa Filsafat UIN Sunan Kalijaga, Aktivis NU, dan Juga Kader Partai PDI Perjuangan)

Dalam dunia politik, pengkhianatan sering kali menjadi bagian dari strategi kekuasaan. Namun, pengkhianatan yang sistematis terhadap pihak-pihak yang berjasa dan terhadap rakyat sendiri mencerminkan ambisi kekuasaan yang melampaui batas demokrasi. Mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi), sosok yang pernah dielu-elukan sebagai harapan baru Indonesia, kini menghadapi kritik tajam atas langkah-langkah politiknya. Dari pengkhianatan terhadap PDI Perjuangan yang membesarkan namanya, Presiden Prabowo Subianto sebagai sekutu politik, hingga rakyat Indonesia, tindakan Jokowi dinilai berisiko melemahkan tatanan demokrasi.

Pengkhianatan terhadap PDI Perjuangan: Melupakan Rumah Ideologis

PDI Perjuangan adalah partai yang membawa Jokowi ke panggung nasional. Pada tahun 2014, Megawati Soekarnoputri memberikan mandat besar kepada Jokowi untuk maju sebagai calon presiden, meskipun Megawati sendiri memiliki peluang besar untuk menang. Namun, setelah terpilih, Jokowi dinilai tidak menunjukkan loyalitas ideologis maupun politik kepada partai yang membesarkannya. Langkah Jokowi yang menjauhkan diri dari nilai-nilai nasionalis PDI Perjuangan menimbulkan friksi internal di tubuh partai. Prof. Maswadi Rauf, pengamat politik dari Universitas Indonesia, mengingatkan bahwa “politik yang meninggalkan basis ideologi menunjukkan pergeseran politik yang terlalu transaksional, dan hal ini membahayakan partai politik sebagai pilar demokrasi.” Pergeseran ini mengancam soliditas PDI Perjuangan, terutama menjelang Pemilu 2024, ketika loyalitas partai seharusnya menjadi landasan perjuangan politik.

Pengkhianatan terhadap Prabowo Subianto: Menjadikan Sekutu sebagai Alat Politik

Prabowo Subianto, yang sebelumnya menjadi rival politik Jokowi, kini menjadi salah satu pendukung utamanya melalui Koalisi Indonesia Maju (KIM). Namun, dukungan ini tampaknya tidak sepenuhnya tulus. Jokowi dituduh memanfaatkan Prabowo untuk menguatkan posisinya, sembari perlahan-lahan membentuk pola dominasi terhadap sang Menteri Pertahanan. Salah satu contohnya adalah dukungan Prabowo terhadap Gibran Rakabuming dalam kontestasi politik. Dr. Pangi Syarwi Chaniago menilai langkah ini sebagai indikasi politik keluarga yang mengancam demokrasi. “Fenomena ini menunjukkan kecenderungan dinasti politik, yang bukan hanya merugikan demokrasi tetapi juga mereduksi kredibilitas mitra koalisi sebagai pemimpin yang sejajar,” ujarnya. Akibatnya, citra Prabowo sebagai pemimpin kuat berpotensi tergerus, menjadikannya alat politik semata dalam strategi Jokowi.

Politik Pecah Belah dalam Koalisi KIM

Koalisi Indonesia Maju (KIM), yang digadang-gadang sebagai kekuatan politik besar menjelang 2024, juga tidak luput dari kritik. Jokowi dituduh menerapkan politik “belah bambu” dengan memanfaatkan dinamika internal partai-partai koalisi. Langkah ini menciptakan ketegangan internal, melemahkan kekuatan kolektif koalisi, dan menguntungkan Jokowi secara pribadi. Menurut Dr. Burhanuddin Muhtadi, “politik akomodasi kekuasaan dalam sistem presidensial multipartai sering kali memunculkan subordinasi terhadap mitra koalisi. Ini mencerminkan kompleksitas dinamika politik Indonesia yang plural, tetapi berisiko melemahkan solidaritas politik.” Kebijakan Jokowi yang lebih memprioritaskan tokoh-tokoh dekatnya dibandingkan koalisi secara keseluruhan menciptakan ketidakseimbangan yang berbahaya bagi stabilitas politik.

Pengkhianatan terhadap Rakyat Indonesia: Tipuan Pesona dan Hegemoni Kekuasaan

Pengkhianatan paling besar yang dituduhkan kepada Jokowi adalah terhadap rakyat Indonesia. Sebagai presiden yang memulai kariernya dengan citra sederhana dan pro-rakyat, Jokowi justru dinilai semakin menjauh dari aspirasi rakyat. Pesonanya yang dahulu menjadi magnet elektoral kini dianggap sebagai alat untuk menutupi agenda politik yang menguntungkan segelintir elit.

Beberapa contoh konkret dari kritik ini meliputi:

  • Hegemoni Oligarki: Jokowi sering dituduh memihak kepentingan oligarki dibandingkan rakyat kecil. Kebijakan seperti UU Cipta Kerja dan pembangunan IKN dianggap lebih menguntungkan segelintir elite ekonomi.
  • Minimnya Transparansi: Keputusan kontroversial pemerintah sering kali diambil tanpa konsultasi publik yang memadai, yang menciptakan jurang kepercayaan antara pemerintah dan rakyat.
  • Manipulasi Narasi Media: Media menjadi alat hegemoni untuk membangun citra positif Jokowi, sementara kritik terhadap pemerintah sering kali diabaikan atau ditekan.

Cendekiawan Muslim Prof. Azyumardi Azra menyoroti bahwa “kebijakan yang terlalu memanjakan oligarki hanya akan memperlebar ketimpangan dan menurunkan kepercayaan rakyat terhadap demokrasi.”

Demokrasi di Ujung Tanduk

Rangkaian tindakan Jokowi—dari pengkhianatan terhadap PDI Perjuangan, Prabowo Subianto, Koalisi KIM, hingga rakyat Indonesia—menunjukkan bagaimana seorang pemimpin yang awalnya dipuja sebagai simbol perubahan dapat berubah menjadi simbol ancaman terhadap demokrasi. Ahli politik seperti Dr. Paramadina Arif Budiman menegaskan bahwa narasi pro-rakyat sering digunakan sebagai alat elektoral, namun pelaksanaannya justru mengarah pada politik elitis. Oleh karena itu, menjaga demokrasi Indonesia yang diperjuangkan dengan susah payah memerlukan reformasi partai politik, peningkatan partisipasi masyarakat sipil, dan kesadaran kritis rakyat, terutama generasi muda, untuk melawan segala bentuk hegemoni yang merugikan bangsa.

Demokrasi Indonesia berada di ujung tanduk. Ambisi kekuasaan yang tidak terkendali, ditambah praktik politik yang mengorbankan nilai-nilai ideologis dan demokratis, hanya akan melemahkan tatanan politik bangsa. Tugas besar kini ada di tangan masyarakat, untuk tetap kritis dan berani mempertahankan demokrasi dari ancaman yang datang dari dalam maupun luar kekuasaan.