Sains dalam Produksi Kebijakan Kita
Willy Aditya
(Wakil Ketua Baleg DPR RI Komisi 1 Pertahanan, Intelijen, Luar Negeri, Komunikasi dan Informatika)
Regulasi di Indonesia menumpuk berserak menjadi gunung kertas yang hampir tak bermakna. Saat ini, setidaknya ada 42.996 regulasi yang kita miliki, dengan perincian: peraturan pusat sebanyak 8.414, peraturan menteri 14.453, peraturan lembaga nonkementerian 4.164, dan peraturan daerah sebanyak 15.965 (Suhardi, 2019). Masih pula tercatat, ada 36 peraturan yang merupakan peninggalan Belanda.
Pada 2011, DPD mencatat ada 84 UU yang bermasalah, terutama yang berkaitan dengan pemerintahan daerah. Dari 1.082 peraturan yang diteliti Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) pada 2016, lebih dari 50% bermasalah.
Masih dari catatan KPPOD, selama otonomi daerah (sekitar 17 tahun) berjalan, pemerintah pusat telah membatalkan sekitar 4.000 peraturan daerah yang bermasalah. Presiden, pada pertangahan Juni 2016, telah melakukan deregulasi terhadap 3.143 peraturan daerah secara nasional, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, yang dieksekusi melalui keputusan menteri dalam negeri.
Sayangnya, banyaknya regulasi ternyata tidak memperlancar proses layanan publik dan kerja pemerintah. Sebagian besar regulasi justru bermasalah, menghambat, dan bertentangan satu sama lain.
Interest base
Sejumlah problem pastinya mendasari kenyataan yang ada ini. Namun, di antara semua itu, sepertinya, ‘kepentingan’ menjadi benang merahnya. Pengambilan keputusan kita saat ini disebut lebih sering berdasarkan kepentingan politik, atau kebijakan yang populer semata.
Posisi riset masih berada di posisi sampiran–jika tidak sebut tidak dilirik sama sekali. Bukan hal yang mengejutkan jika kemudian ditemukan banyak regulasi yang merupakan hasil kloning atau copy-paste. Hasilnya, kebijakan publik yang dilahirkan lebih bersifat subjektif ketimbang dekat dengan kebutuhan dan realitas di lapangan. Ia juga menjadi produk yang tidak efektif dan efisien, sekaligus tidak objektif dan proyektif.
Fenomena penumpukan, tumpang-tindih, tambal sulam regulasi, dan sebagainya ialah konsekuensi logisnya. Sebagai misal, UU Pendidikan Kedokteran baru diundangkan pada 2013. Namun, hanya berselang tiga tahun, UU tersebut sudah ‘digugat’ bahkan dari berbagai organisasi kedokteran sendiri. Sejak 2016, draf revisinya sudah nongol di Badan Legislasi DPR, yang terus bertahan hingga saat ini.
UU ITE menjadi contoh dari tidak proyektifnya produk perundangan kita. Disahkan pada 2008, tetapi sudah melahirkan ‘korban’ sekaligus kegaduhan sosial ketika menyeret nama Prita Mulyasari pada 2009. Tahun-tahun berikutnya, UU itu seolah bermetamorfosis menjadi ‘senjata’ dalam setiap bentuk perselisihan sosial dengan aksi saling lapornya.
UU Cipta Kerja juga bisa menjadi contoh lain. UU yang dirumuskan lewat skema omnibus law itu menunjukkan terjadi tumpang-tindih kebijakan yang begitu akut. Sejumlah UU juga tengah disiapkan dengan metode yang sama. Semua itu menunjukkan adanya problem mendasar dalam proses perumusan regulasi kita, yakni titik pijak atau titik berangkat disusunnya sebuah regulasi.
Posisi sains dan ilmuwan kita
Perumusan kebijakan di Indonesia nyatanya memang belum banyak melibatkan hasil penelitian dari lembaga-lembaga riset, baik yang secara resmi berada di bawah kementerian, perguruan tinggi, maupun badan usaha. Patut dicatat bahwa pelibatan dan pemanfaatan itu tidak harus berarti menghadirkan aktornya (para peneliti, tenaga ahli, konsultan), tetapi lebih pada hasil serta bundel-bundel ilmu pengetahuan di dalamnya.
Dalam proses perumusan kebijakan, peneliti merupakan salah satu aktor terpenting yang harus dilibatkan. Peran peneliti itu tenyata telah diatur dalam UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Khususnya, Pasal 98 ayat 1, sebagai upaya membuat kebijakan yang sepresisi mungkin dengan realitas dan persoalan masyarakat.
Sayangnya, dalam banyak kasus perumusan kebijakan; baik itu pakar, tenaga ahli, konsultan, maupun think tank, tidak selalu merepresentasikan pengetahuan mereka. Boleh dikatakan, mereka hanya menjadi ‘pemberi stempel keabsahan keterlibatan ilmu pengetahuan’ dalam sebuah kebijakan.
Memang, dalam salah satu kegiatan perencanaan pembuatan kebijakan, ada yang disebut penyusunan naskah akademik (NA). Namun, dalam praktiknya NA lebih sering menjadi ‘bagian penyerta’ saja. NA hanya menjadi syarat formal dan kerap dikesampingkan sebagai sebuah pertimbangan yang penting dalam penyusunan sebuah kebijakan.
Franz Magnis-Suseno (2018, hlm viii-ix) dalam Kata Pengantarnya di Peran Intelektual, sebuah karya dari Edward Said, membandingkan intelektual Indonesia dengan Jerman dalam menyikapi situasi politik.
Di Jerman, menurutnya, tidak akan ditemukan seorang intelektual semacam Juergen Habermas dikutip pendapatnya tentang mata uang euro atau tentang UU kewarganegaraan. Namun, di Indonesia, pendapat seorang intelektual bisa menjadi headline media massa.
Mengapa ini bisa terjadi? Karena suara politikus kita hampir senada jika tidak disebut seragam. Jikapun tidak, mereka hanya bersuara atas dasar kepentingan mereka belaka. Pada gilirannya, suara politikus lebih merupakan oratio pro domo atas kebijakan yang berlaku dan hendak berlaku.
Di sinilah arti penting sekaligus misteriusnya kaum intelektual Indonesia. Mereka tidak saja ditunggu rakyat luas, tetapi juga diperhitungkan politikus. Bukan hal yang mengherankan jika politikus akan lebih sibuk menyiapkan counter atas wacana atau pernyataan yang disuarakan kalangan intelektual alih-alih teriakan tidak puas dari rakyat bawah. Kenderungan demikian ini bukan sesuatu yang bisa disangkal. Hanya, anehnya, dalam pembuatan kebijakan yang lebih konkret, hingga mengkristal menjadi regulasi, suara kaum intelektual ini raib entah ke mana.
Scientific approach
Inilah saatnya untuk mengubah paradigma dalam proses penyusunan regulasi negara. Peka terhadap aspirasi, cermat melihat kebutuhan, berkomitmen terhadap visi/misi atau perjuangan partai itu harus. Namun, sudah saatnya juga kita mulai menempatkan sains sebagai alas dari semua itu. Artinya, bukan hanya political will dan good will yang menjadi basis sebuah proses perumusan kebijakan, melainkan juga ilmu pengetahuan.
Salah satu kelebihan pendekatan ilmiah (scientific approach) ialah ia mampu melihat secara objektif dan proyektif suatu persoalan. Ia juga memiliki kecermatan dan dasar argumentasi yang valid dan bisa diuji. Sains memiliki metode yang disebut penelitian, atau riset.
Di dalam riset, ada konsep, preposisi, teori, variabel-variabel yang terukur, hipotesis, hingga definisi-definisi operasional. Lebih dari itu, sains tidak akan pragmatis seperti halnya kepentingan.
Dengan keadaan yang ada sejauh ini, setidaknya ada dua cara pandang yang bisa kita gunakan dalam upaya mengafirmasi gagasan ini. Pertama, mulailah menjadikan berbagai hasil riset yang dimiliki berbagai lembaga penelitian dan kampus sebagai basis perumusan kebijakan. Untuk bisa demikian, ia harus menjadi prosedur tetap dalam setiap penyusunan UU.
Kedua, terhadap RUU yang saat ini tengah berada dalam program legislasi nasional (prolegnas), harus diupayakan adanya riset terlebih dahulu terhadap materi yang ada dalam RUU. Ia tidak cukup dengan hanya kunjungan kerja, RDPU, ataupun NA.
Sudah saatnya kita ciptakan tradisi baru dalam bernegara. Sudah saatnya kita libatkan dunia kebudayaan dalam dunia politik. Perubahan ini tidak hanya milik pemerintah dan DPR, tetapi juga lembaga-lembaga ilmu pengetahuan. Dulu ada istilah link and match untuk menyebut relasi antara dunia pendidikan dan dunia industri, mengapa kini tidak kita link-and-match-kan dunia sains dengan produk-produk kebijakan negara?
Kita ingin memiliki UU yang memiliki daya tahan cukup lama. UU yang tidak mudah dikoreksi atau direvisi bahkan setahun setelah ia diundangkan. Atau UU yang justru membuat kehidupan bernegara kita menjadi lebih rumit. Kita ingin terhindar dari praktik empirisisme. Praktik yang dalam bahasa sederhananya: seperti katak dalam tempurung.