Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Sejarah dan Filosofi Tengkleng, Kuliner Khas Solo
Ilustrasi

Sejarah dan Filosofi Tengkleng, Kuliner Khas Solo



Berita Baru, Solo – Selain dikenal dengan adat kebudayaan masyarakatnya, Solo juga terkenal sebagai kota yang memiliki makanan khas yang melegenda. Tengkleng adalah salah satunya.

Sejak zama dahulu, tengkleng Solo sudah terkenal kelezatannya.  Namun, terlepas dari hal itu, Tengkleng ternyata punya asal usul yang terbilang unik. 

Dikutip dari Kompas.com. Heri Priyatmoko, salah satu Dosen Sejarah Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma menjelaskan, “Tengkleng lahir dari buah kreativitas wong Solo dalam menghadapi situasi yang mencekik, tepatnya masa penjajahan Jepang”.

Menurut Heri, pada masa itu rakyat hidup seakan tercekik oleh kesengsaraan. Bahan pangan yang menipis bagi kaum kecil, terpaksa mengolah apapun agar bisa menjadi sebuah santapan yang mengenyangkan perut.

Dihadapan situasi yang mencekik inilah, demi mengisi perut, orang Solo pada masa penjajahan akhirnya memanfaatkan limbah termasuk limbah kambing seperti tulang belulang dan jeroan dari kambing. Umumnya tulang dan jeroan hewan tidak dimanfaatkan oleh orang dari ekonomi tinggi pada masa itu.

Sejarah dan Filosofi Tengkleng, Kuliner Khas Solo
Tengkleng sebagai kuliner khas Solo, Foto: Shutterstock/Jim photoghraphy

Sedangkan menurut Ahmad Saeroji, dalam jurnal bertajuk Pemetaan Wisata Kuliner Khas Kota Surakarta terbitan Jurnal Pariwisata Terapan, “Sejarah terciptanya masakan ini dimulai ketika jaman pendudukan Belanda di Kota Surakarta. Mahalnya daging kambing di masa itu, maka hanya para pembesar Belanda dan orang-orang Eropa yang dapat menikmati daging kambing sedangkan tulang-tulangnya dibuang”.

Pada dasarnya Tengkleng adalah masakan sejenis sup dengan bahan utama kepala, kaki, dan tulang kambing. Bentuk fisik dari dari Tengkleng berbeda dengan gulai kambing, terutama pada kuahnya, bila gulai kental maka tengkleng kuahnya encer.

Biasanya tengkleng dinikmati dengan cara dibrakoti atau dikrikiti bahasa Solonya, yang atinya digigit dengan jumlah kecil.

Meskipun cara makan seperti  ini dipandang dengan tidak etis, hal itu memiliki filosofi tersendiri di dalam semangkuk tengkleng.

Menurut Heri, di dalam tulang kambing  terdapat sumsum tulang yang memiliki rasa yang khas. Sumsum tulung ini biasanya disesepi, yang terarti dihisap secara berlahan agar menemukan letak kenikmatannya. Hal ini menunjukkan sebuah filosofi tentang orang yang berjuang dan tidak mudah takluk oleh penderitaan hidup.

“Keragaman makanan itu bermula dari kreativitas orang Jawa yang dipicu welingan (nasihat) leluhur: Jangan membuang nasi. Itu adalah upaya menghormati Dewi Sri,” jelas Heri.

Salah satu cara mensyukuri segala nikmat pemberian tuhan adalah dengan tidak menyia-nyiakannya

 “Tak hanya soal pemilihan sisa daging kambing, takaran santan dan bumbu, namun tidak pula menyia-nyiakan bahan pemberian Gusti Allah sekalipun berwujud tulang dan jeroan,” tegasnya.

(Husein)